BERITA INDEX BERITA
Indonesia Darurat Melek Pustaka
Anton Suparyanta
Penyuka Baca Buku, Tinggal di Klaten
ASPIRASI. Kosakata ini mengendap di benak Menteri Pendidikan
Dasar dan Menengah RI, Prof. Abdul Mu’ti, ketika menyiapkan bentangan program
kerja ranah kependidikan nasional ke depan. Aspirasi menjadi cikal harapan dan
tujuan yang digenggam bersama rakyat demi capaian mutu idaman. Aspirasi
membutuhkan bekal memorabilia. Bayangkan, jika Prof. Mu’ti menilik aspirasi
“Pelajaran Tata Bahasa dan Mengarang”. Bergeraklah dari kegatalan kecil, dari
sebuah sajak yang esok hari siaga meledak.
“Pelajaran Tata Bahasa dan Mengarang” (1997) adalah sajak
Taufiq Ismail yang kemudian dibundel dalam kitab Malu (Aku) Jadi Orang
Indonesia (cetakan kedua, 2000). Berangkat dari judul sajak dan judul buku,
tecermin pantul buram “pribadi Indonesia”.
Era kini Kabinet Merah Putih mengirim tengara, aspirasi itu
untuk mengorek bukti darurat literasi anak bangsa. Indonesia darurat pustaka:
malas baca, miskin referensi, dan rabun buku. Sungguh sarkastis. Ramai literasi
di hulu pemerintahan, tetapi sepi di hilir konsumen para pembaca dan penanggap.
Aspirasi sajak tadi menyata hingga hari ini. Sajak Taufiq tulen kontekstual.
Pelajaran Tatabahasa dan Mengarang
“Murid-murid, pada hari Senin ini
Marilah kita belajar tatabahasa
Dan juga sekaligus berlatih mengarang
Bukalah buku pelajaran kalian
Halaman enam puluh sembilan
“Ini ada kalimat menarik hati, berbunyi
‘Mengeritik itu boleh, asal membangun’
Nah anak-anak, renungkanlah makna ungkapan itu
Kemudian buat kalimat baru dengan kata-katamu
sendiri.”
Demikianlah kelas itu sepuluh menit dimasuki
sunyi
Murid-murid itu termenung sendiri-sendiri
Ada yang memutar-mutar pensil dan bolpoin
Ada yang meletakkan ibu jari di dahi
Ada yang salah tingkah, duduk gelisah
Memikirkan sejumlah kata yang bisa serasi
Menjawab pertanyaan Pak Guru ini
“Ayo siapa yang sudah siap?”
Maka tak ada seorang mengacungkan tangan
Kalau tidak menunduk sembunyi dari incaran guru
Murid-murid itu saling berpandangan saja
Akhirnya ada seorang disuruh maju ke depan
Dan dia pun memberi jawaban
“Mengeritik itu boleh, asal membangun
Membangun itu boleh, asal mengeritik
Mengeritik itu tidak boleh, asal tidak membangun
Membangun itu tidak asal, mengeritik itu boleh
tidak
Membangun mengeritik itu boleh asal
Mengeritik membangun itu asal boleh
Mengeritik itu membangun
Membangun itu mengeritik
Asal boleh mengeritik, boleh itu asal
Asal boleh membangun, asal itu boleh
Asal boleh itu mengeritik boleh asal
Itu boleh asal membangun asal boleh
Boleh itu asal
Asal itu boleh
Boleh boleh
Asal asal
Itu itu
Itu.”
“Nah anak-anak, itulah karya temanmu
Sudah kalian dengarkan ‘kan
Apa komentar kamu tentang karyanya tadi?”
Kelas itu tiga menit dimasuki sunyi
Tak seorang mengangkat tangan
Kalau tidak menunduk di muka guru
Murid-murid itu cuma berpandang-pandangan
Tapi tiba-tiba mereka bersama menyanyi:
“Mengeritik itu membangun boleh asal
Membangun itu mengeritik asal boleh
Bangun bangun membangun kritik mengeritik
Mengeritik membangun asal mengeritik
“Dang ding dung ding dang ding dung
Ding dang ding dung
Dang ding dung ding dang ding dang
Ding dang ding dung.”
“Anak-anak, bapak bilang tadi
Mengarang itu harus dengan kata-kata sendiri
Tapi tadi tidak ada kosa kata lain sama sekali
Kalian cuma mengulang bolak-balik yang itu-itu
juga
Itu kelemahan kalian yang pertama
Dan kelemahan kalian yang kedua
Kalian anemi referensi dan melarat bahan
perbandingan
Itu karena malas baca buku apalagi karya
sastra.”
“Wahai Pak Guru, jangan kami disalahkan apalagi
dicerca
Bila kami tak mampu mengembangkan kosa kata
Selama ini kami ‘kan diajar menghafal dan
menghafal saja
Mana ada dididik mengembangkan logika
Mana ada diajar berargumentasi dengan pendapat
berbeda
Dan mengenai masalah membaca buku dan karya
sastra
Pak Guru sudah tahu lama sekali
Mata kami rabun novel, rabun cerpen, rabun drama
dan rabun puisi
Tapi mata kami ‘kan nyalang bila menonton
televisi.”
(1997)
Sajak ini roh kritik. Siapa dan di manakah kritisinya? Hingga
kiwari klaim “zaman gagap kritik (sastra) bagi akademisi” tak tuntas jawab. Tak
yakin mencontohkan sayembara penulisan kritik sastra DKJ yang senantiasa
menggeliat. Tak jemawa Badan Bahasa Kemendikbud tergiur sayembara kritik sastra
2020. Hanya lemparan kerikil tatkala Tere Liye rajin mengumpan lomba resensi
novel tergres karyanya dengan iming-iming pasar. Lalu, ke mana (quo vadis) para
penanggap sastra era akademisi kiwari? Pasti ini bukan perkara politis.
Abdul Hadi WM tiada. Sapardi Djoko Damono tiada. Ajip Rosidi pun tiada. Memang Abdul, Sapardi, dan Rosidi bukan trio maestro sastra, apalagi kritisi. Abdul, Sapardi, dan Rosidi adalah trio dialektika pikir ketika belajar hidup membersamai sastra. Kebetulan Abdul dan Sapardi agung berkaum akademisi, sedangkan Rosidi memberkah nirijazah. Unik, terjadi dua sinergi talenta sastra dari latar belakang yang mahalebar berjurang. Abdul, Sapardi, dan Rosidi mati. Ikut matikah gen kritisi akademis sastra Indonesia kiwari?
Mengalirnya penerbitan buku-buku sastra akhir-akhir ini
memicu satu gejala pemikiran geli. Berhura-huralah untuk menghantam pengarang
melaju tanpa beban kritik dengan dalih kritisi sastra kita sudah mati. Apakah
dalih ini pun berupaya membunuh iklim keutuhan berkesastraan secara sehat? Ini
usang, tetapi unik menahun.
Ini menjadi logika kerdil, gagap untuk menyimak wawasan
bersastra dengan cara ucap atau dengan media yang baru. Lagi-lagi, inikah
gejala ewuh-aya bagi pengarang sastra, pemerhati, ataupun pengamat sastra
Indonesia termutakhir? Kaum literat sastra bilang “entahlah”!
Aspirasi Lawas
Kritik sastra Indonesia tidak memiliki tradisi, tetapi
memiliki nilai keunikan. Pada mulanya kritik sastra menyebar hadir melalui
rubrik koran pun majalah yang sentralistik, Jakarta oriented, Jakarta minded.
Bukankah siaran dan terbitan pers yang memiliki gurita industri kala itu masih
dihegemoni Jakarta? Bukankah era 60-70-an hingga paruh awal 80-an kiblat
kesastraan Indonesia menggumpal di pusar metropolis tersebut?
Andaikata kita kini hanya terpaku pada kejayaan “zaman
sastra metropolis” tersebut, tentulah para pelaku sastra akan terjatuh di
kubangan “universalitas sempit”. Kenapa begitu?
Alasan klasik muncul kecenderungan mutlak untuk sebuah pola
yang dimapankan. Pemapanan yang hanya bertumpu pada universalnya gaya bangsa
Barat ini, tanpa disadari akan memaksa kesastraan Indonesia harus melaju
bergaya intelektual. Untuk inilah kita tak bisa ingkar membongkar arsip
dominasi sebaran karya dan kritik sastra di kantong Budaya Jaya, Sastra, Kisah,
Zaman, Zenith, Horison, ataupun Basis ketika masih bernyali untuk “nyastra”.
Lantas, arifkah kini tatkala media tersebut terengah dan
mati kehilangan napas, justru kita jotos dengan “pengarang melaju tanpa kritik”
sehingga mudah menuduh “kritisi sastra kita sudah mati”? Nah, kalau pelaku
sastra kini hanya bisa mengelap-lap “zaman emas” bersastra seperti itu, tentu
bahaya dahsyat akan menggerogotinya. Kenanglah inertia, cuma tahu satu
kemungkinan di bidangnya. Bukankah ini sebuah penyakit, parasit dalam
kesastraan?
Lalu sikap kita? Ketika era sastra di majalah telah mati,
tunas sastra kini dikavling di koran (digital), situs web, dan penerbitan
karbitan ala komunitas menulis. Akan tetapi, kendala besar pun terus
menghadang. Publikasi kritikan sastra menjadi sempit yang mengakibatkan kritik
sumir, dangkal, dan cenderung verbalitas literer atau kritik sastra sambil
lalu. Untuk alasan inilah dibutuhkan media alternatif demi publikasi karya
kritikan sastra.
Kegagalan penikmat sastra terkini adalah taklid terhadap
media alternatif ini sehingga dengan enteng menuliskan tiadanya kontinuitas
kritik dan kritisi sastra yang mumpuni hingga kiwari.
Ada pergeseran dalam publikasi kritik sastra. Mula-mula
berorientasi majalah sastra yang Jakarta sentris, kemudian diimbangi oleh
koran-koran yang bertumbuh di Jakara juga. Lalu berkat ledakan teknologi, ruang
sastra semakin tertutup. Sastra tak ber-uang, ruang sastra budaya kini makin
ditepikan oleh kebijakan redaksi. Mediasi sastra Jakarta sentris bubar.
Menyikapi penyempitan kavling inilah, muncul media
alternatif untuk memublikasikan kritik sastra yang begitu ilmiah dan mapan.
Media ini hadir dalam kemasan majalah, jurnal, buletin yang diterbitkan oleh
kalangan akademisi. Idealnya, media ini hidup manakala perguruan tinggi masih
eksis. Lalu, bagaimana kabarnya?
Aspirasi Alternatif
Siar sastra Jakarta sentris bubar, muncullah kerinduan pikir
sinergis di kota tertentu dengan kolaborasi Balai Bahasa atau Kantor Bahasa di
provinsi tertentu dengan media koran tertentu di kota tersebut. Cupliklah
Kantor Bahasa Riau bersama harian Riau Pos dengan rubrik Alinea. Kantor Bahasa
Sulawesi Tenggara bergandeng dengan Harian Rakyat Sultra dengan rubrik Bahasa,
Sastra, dan Budaya. Ditambah lagi Kantor Bahasa Bali dan NTB yang menggandeng
koran lokalnya.
Mari kita arif menagih kembali media berkala seperti: Mastra Kandaga (Kantor Bahasa Banten), Widya Parwa (Kantor Bahasa Yogyakarta), Humaniora (FIB UGM), Widya Dharma (USD Yogyakarta), Diksi (UNY Yogyakarta), Semiotika (UST Yogyakarta), Seni (ISI Yogyakarta), Citra Yogya (DK Yogyakarta), Haluan Sastra Budaya (FIB UNS Solo), Kajian Bahasa dan Sastra (UMS Solo), Kajian Sastra (FIB Undip Semarang), Widya Pustaka (FIB Unud Bali), Lontara (Unhas Makassar), Puitika (FIB Unand Padang), Pengajaran Bahasa dan Sastra (Depdikbud Jakarta), Majalah Ilmu-Ilmu Sastra Indonesia (FIB UI Jakarta), Fenolingua dan Magistra (Unwidha Klaten).
Bukankah data media ini bisa dideret di PTN pun PTS seluruh Indonesia? Apa kabar publikasi kesastraannya? Belum lagi kehadiran (lalu tenggelam) majalah trendi Majas (Jakarta), Jurnal Madah dan Serindit (Riau), Sabana (Yogyakarta), Kidung dan Suluk (DK Jatim). Bagaimana kabarnya kini?
Pertumbuhan, perkembangan, dan penyebaran kritik sastra
Indonesia memang sangat lambat jika dibandingkan dengan siar karya sastra yang
memiliki wawasan dan pandangan luas atau netral seperti dikabarkan HB Jassin.
Tengara pokok disebabkan oleh pluralitas karya sastra yang menuntut kepekaan
khusus dari para kritisi atau penelaah sastra dalam upaya pemahaman total,
serta menggali nilai bulat dari karya tersebut.
Kritisi sastra Indonesia pada umumnya adalah deretan penulis
kreatif serba bisa dan sangat terpengaruh aliran atau mazhab sastra yang
dianutnya. Akibatnya terjadi kesulitan ketika menilai karya yang berada di luar
kerangka mazhab yang diilmuinya. Efek yang menjadi cemooh terkini yakni kritisi
kurang menjadi objektif dan cenderung subjektif belaka. Namun subjektivitas
bukanlah harga mati. Subjektivitas tak membuat pengaburan isi karya. Sebagai
teladan romantisme yakni Arief Budiman, A Teeuw, pun Subagio Sastrowardoyo.
Tak silap hati jika Korrie Layun Rampan pun menegasi bahwa
pada pokoknya kritik sastra harus berangkat dari subjektivitas untuk meraup
objektivitas. Subjektivitas untuk mencapai objektivitas, ditopang visi,
keseriusan, dan telaten sangat dituntut pada diri sosok kritisi, di samping
mengusasi perangkat teori. Karena itu, tuntutan kritisi kiwari adalah totalitas
yang multifaset, pengalaman literer yang ultima. Pembaca kiwari bilang “melek
kecakapan literasi”.
Aspirasi Kritisi di Web
Boyongan bedhol desa. Jagat cetak media kertas melompat ke
dunia maya si website. Kritisi terkini pun kembang kempis. Menyerah. Tamsilnya
herd immunity, hidup segan mati pun enggan. Coba jenguk majalahelipsis.com.
Sayang, tiga tahun laju, sastramedia.com tumbang kemarin.
Kendala utama terkini yang membelit para penulis kritik
sastra (sambil lalu) atau kritikan bisu ala verbalitas literer adalah media
publikasi yang mapan. Bagi kaum akademisi (dosen) tentunya sudah tersedia wadah
kritikan, tetapi risiko yang mencolok adalah benturan fulus dan manajemen ajek
terbit. Bagi penulis luar pun terasa sekarat, tidak sedikit media menutup
rubrik kritik sastra, manakala dunia web masih setengah hati.
Tiliklah paruh kedua 1990-an hingga ujung 2024 ini sudah
berjubel penerbitan karya: puisi, cerpen, novelet, novel, drama, antologi esai
sastra; tetapi penanggapnya begitu miskin. Karya sastra ibarat menyampah.
Apakah ekspresi kesastraan Indonesia telah mengidap diskomunikasi dengan
masyarakat pembacanya?
Kegeniusan ala Seno Gumira Ajidarma, Titis Basino PI, Tere
Liye, Ahmad Fuadi, Andrea Hirata, Joko Pinurbo, Kiki Sulistyo sebagai contoh,
tak mendapat perhatian serius. Mengapa periset sastra di Kantor Bahasa yang
eksis di hampir setiap provinsi masih tidur untuk media? Mengapa belakangan ini
tidak sedikit dosen sastra (Indonesia) bisu bersastra?
Sekadar menjumput tokoh terkini menggegas sastra, ada Prof.
Djoko Saryono (FIB UNM Malang), Prof. Abdul Wachid BS (IAIN Purwokerto), Dr.
Teguh Trianton (UMP Purwokerto), Dr. S. Prasetyo Utomo (Universitas PGRI
Semarang), Yusri Fajar, M.A. (FIB Universitas Brawijaya Surabaya), Dr. Aprinus
Salam (FIB UGM Yogyakarta), Prof. Wiyatmi (FIB UNY Yogyakarta), pun Prof.
Nugraheni EW (FKIP UNS Surakarta) yang dewasa mengunyah sastra. Apa kabar para
master?
Sebagai penutup, kritisi adalah dia yang menyoroti dan
menganalisis buah sastra dalam perspektif kesejarahan dan filsafat, tetapi juga
dia yang sekadar memberi timbangan dan komentar. Soal tepatnya orang diberi
julukan kritisi, pembahas, atau hanya sekadar komentator adalah soal penentuan
nilai dan gelar dan tidak bersangkutan dengan pengertian pokok (Subagio
Sastrowardoyo, 1966, di ig badan bahasa kemendikbud). Semoga Anda intens menjadi
penanggap sastra Indonesia kiwari yang bandel. Dan pada suatu masa nanti
website porosbumi.com menjadi arena aspirasi-aspirasi tegar tengkuk tadi, tak
terkecuali jagat sastra. ***