BERITA INDEX BERITA

Indonesia Darurat Melek Pustaka

tilikan | DiLihat : 381 | Rabu, 06 November 2024 | 07:19
Indonesia Darurat Melek Pustaka

Anton Suparyanta

Penyuka Baca Buku, Tinggal di Klaten

 

ASPIRASI. Kosakata ini mengendap di benak Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah RI, Prof. Abdul Mu’ti, ketika menyiapkan bentangan program kerja ranah kependidikan nasional ke depan. Aspirasi menjadi cikal harapan dan tujuan yang digenggam bersama rakyat demi capaian mutu idaman. Aspirasi membutuhkan bekal memorabilia. Bayangkan, jika Prof. Mu’ti menilik aspirasi “Pelajaran Tata Bahasa dan Mengarang”. Bergeraklah dari kegatalan kecil, dari sebuah sajak yang esok hari siaga meledak.

“Pelajaran Tata Bahasa dan Mengarang” (1997) adalah sajak Taufiq Ismail yang kemudian dibundel dalam kitab Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia (cetakan kedua, 2000). Berangkat dari judul sajak dan judul buku, tecermin pantul buram “pribadi Indonesia”.

Era kini Kabinet Merah Putih mengirim tengara, aspirasi itu untuk mengorek bukti darurat literasi anak bangsa. Indonesia darurat pustaka: malas baca, miskin referensi, dan rabun buku. Sungguh sarkastis. Ramai literasi di hulu pemerintahan, tetapi sepi di hilir konsumen para pembaca dan penanggap. Aspirasi sajak tadi menyata hingga hari ini. Sajak Taufiq tulen kontekstual.

 

Pelajaran Tatabahasa dan Mengarang

“Murid-murid, pada hari Senin ini

Marilah kita belajar tatabahasa

Dan juga sekaligus berlatih mengarang

Bukalah buku pelajaran kalian

Halaman enam puluh sembilan

 

“Ini ada kalimat menarik hati, berbunyi

‘Mengeritik itu boleh, asal membangun’

Nah anak-anak, renungkanlah makna ungkapan itu

Kemudian buat kalimat baru dengan kata-katamu sendiri.”

 

Demikianlah kelas itu sepuluh menit dimasuki sunyi

Murid-murid itu termenung sendiri-sendiri

Ada yang memutar-mutar pensil dan bolpoin

Ada yang meletakkan ibu jari di dahi

Ada yang salah tingkah, duduk gelisah

Memikirkan sejumlah kata yang bisa serasi

Menjawab pertanyaan Pak Guru ini

 

“Ayo siapa yang sudah siap?”

Maka tak ada seorang mengacungkan tangan

Kalau tidak menunduk sembunyi dari incaran guru

Murid-murid itu saling berpandangan saja

 

Akhirnya ada seorang disuruh maju ke depan

Dan dia pun memberi jawaban

 

“Mengeritik itu boleh, asal membangun

Membangun itu boleh, asal mengeritik

Mengeritik itu tidak boleh, asal tidak membangun

Membangun itu tidak asal, mengeritik itu boleh tidak

Membangun mengeritik itu boleh asal

Mengeritik membangun itu asal boleh

Mengeritik itu membangun

Membangun itu mengeritik

Asal boleh mengeritik, boleh itu asal

Asal boleh membangun, asal itu boleh

Asal boleh itu mengeritik boleh asal

Itu boleh asal membangun asal boleh

Boleh itu asal

Asal itu boleh

Boleh boleh

Asal asal

Itu itu

Itu.”

 

“Nah anak-anak, itulah karya temanmu

Sudah kalian dengarkan ‘kan

Apa komentar kamu tentang karyanya tadi?”

 

Kelas itu tiga menit dimasuki sunyi

Tak seorang mengangkat tangan

Kalau tidak menunduk di muka guru

Murid-murid itu cuma berpandang-pandangan

Tapi tiba-tiba mereka bersama menyanyi:

 

“Mengeritik itu membangun boleh asal

Membangun itu mengeritik asal boleh

Bangun bangun membangun kritik mengeritik

Mengeritik membangun asal mengeritik

 

“Dang ding dung ding dang ding dung

Ding dang ding dung

Dang ding dung ding dang ding dang

Ding dang ding dung.”

 

“Anak-anak, bapak bilang tadi

Mengarang itu harus dengan kata-kata sendiri

Tapi tadi tidak ada kosa kata lain sama sekali

Kalian cuma mengulang bolak-balik yang itu-itu juga

Itu kelemahan kalian yang pertama

Dan kelemahan kalian yang kedua

Kalian anemi referensi dan melarat bahan perbandingan

Itu karena malas baca buku apalagi karya sastra.”

 

“Wahai Pak Guru, jangan kami disalahkan apalagi dicerca

Bila kami tak mampu mengembangkan kosa kata

Selama ini kami ‘kan diajar menghafal dan menghafal saja

Mana ada dididik mengembangkan logika

Mana ada diajar berargumentasi dengan pendapat berbeda

Dan mengenai masalah membaca buku dan karya sastra

Pak Guru sudah tahu lama sekali

Mata kami rabun novel, rabun cerpen, rabun drama dan rabun puisi

Tapi mata kami ‘kan nyalang bila menonton televisi.”

(1997)

 

Sajak ini roh kritik. Siapa dan di manakah kritisinya? Hingga kiwari klaim “zaman gagap kritik (sastra) bagi akademisi” tak tuntas jawab. Tak yakin mencontohkan sayembara penulisan kritik sastra DKJ yang senantiasa menggeliat. Tak jemawa Badan Bahasa Kemendikbud tergiur sayembara kritik sastra 2020. Hanya lemparan kerikil tatkala Tere Liye rajin mengumpan lomba resensi novel tergres karyanya dengan iming-iming pasar. Lalu, ke mana (quo vadis) para penanggap sastra era akademisi kiwari? Pasti ini bukan perkara politis.

Abdul Hadi WM tiada. Sapardi Djoko Damono tiada. Ajip Rosidi pun tiada. Memang Abdul, Sapardi, dan Rosidi bukan trio maestro sastra, apalagi kritisi. Abdul, Sapardi, dan Rosidi adalah trio dialektika pikir ketika belajar hidup membersamai sastra. Kebetulan Abdul dan Sapardi agung berkaum akademisi, sedangkan Rosidi memberkah nirijazah. Unik, terjadi dua sinergi talenta sastra dari latar belakang yang mahalebar berjurang. Abdul, Sapardi, dan Rosidi mati. Ikut matikah gen kritisi akademis sastra Indonesia kiwari?

Mengalirnya penerbitan buku-buku sastra akhir-akhir ini memicu satu gejala pemikiran geli. Berhura-huralah untuk menghantam pengarang melaju tanpa beban kritik dengan dalih kritisi sastra kita sudah mati. Apakah dalih ini pun berupaya membunuh iklim keutuhan berkesastraan secara sehat? Ini usang, tetapi unik menahun.

Ini menjadi logika kerdil, gagap untuk menyimak wawasan bersastra dengan cara ucap atau dengan media yang baru. Lagi-lagi, inikah gejala ewuh-aya bagi pengarang sastra, pemerhati, ataupun pengamat sastra Indonesia termutakhir? Kaum literat sastra bilang “entahlah”!        

 

Aspirasi Lawas

Kritik sastra Indonesia tidak memiliki tradisi, tetapi memiliki nilai keunikan. Pada mulanya kritik sastra menyebar hadir melalui rubrik koran pun majalah yang sentralistik, Jakarta oriented, Jakarta minded. Bukankah siaran dan terbitan pers yang memiliki gurita industri kala itu masih dihegemoni Jakarta? Bukankah era 60-70-an hingga paruh awal 80-an kiblat kesastraan Indonesia menggumpal di pusar metropolis tersebut?

Andaikata kita kini hanya terpaku pada kejayaan “zaman sastra metropolis” tersebut, tentulah para pelaku sastra akan terjatuh di kubangan “universalitas sempit”. Kenapa begitu?

Alasan klasik muncul kecenderungan mutlak untuk sebuah pola yang dimapankan. Pemapanan yang hanya bertumpu pada universalnya gaya bangsa Barat ini, tanpa disadari akan memaksa kesastraan Indonesia harus melaju bergaya intelektual. Untuk inilah kita tak bisa ingkar membongkar arsip dominasi sebaran karya dan kritik sastra di kantong Budaya Jaya, Sastra, Kisah, Zaman, Zenith, Horison, ataupun Basis ketika masih bernyali untuk “nyastra”.

Lantas, arifkah kini tatkala media tersebut terengah dan mati kehilangan napas, justru kita jotos dengan “pengarang melaju tanpa kritik” sehingga mudah menuduh “kritisi sastra kita sudah mati”? Nah, kalau pelaku sastra kini hanya bisa mengelap-lap “zaman emas” bersastra seperti itu, tentu bahaya dahsyat akan menggerogotinya. Kenanglah inertia, cuma tahu satu kemungkinan di bidangnya. Bukankah ini sebuah penyakit, parasit dalam kesastraan?

Lalu sikap kita? Ketika era sastra di majalah telah mati, tunas sastra kini dikavling di koran (digital), situs web, dan penerbitan karbitan ala komunitas menulis. Akan tetapi, kendala besar pun terus menghadang. Publikasi kritikan sastra menjadi sempit yang mengakibatkan kritik sumir, dangkal, dan cenderung verbalitas literer atau kritik sastra sambil lalu. Untuk alasan inilah dibutuhkan media alternatif demi publikasi karya kritikan sastra.

Kegagalan penikmat sastra terkini adalah taklid terhadap media alternatif ini sehingga dengan enteng menuliskan tiadanya kontinuitas kritik dan kritisi sastra yang mumpuni hingga kiwari.

Ada pergeseran dalam publikasi kritik sastra. Mula-mula berorientasi majalah sastra yang Jakarta sentris, kemudian diimbangi oleh koran-koran yang bertumbuh di Jakara juga. Lalu berkat ledakan teknologi, ruang sastra semakin tertutup. Sastra tak ber-uang, ruang sastra budaya kini makin ditepikan oleh kebijakan redaksi. Mediasi sastra Jakarta sentris bubar.

Menyikapi penyempitan kavling inilah, muncul media alternatif untuk memublikasikan kritik sastra yang begitu ilmiah dan mapan. Media ini hadir dalam kemasan majalah, jurnal, buletin yang diterbitkan oleh kalangan akademisi. Idealnya, media ini hidup manakala perguruan tinggi masih eksis. Lalu, bagaimana kabarnya?

           

Aspirasi Alternatif

Siar sastra Jakarta sentris bubar, muncullah kerinduan pikir sinergis di kota tertentu dengan kolaborasi Balai Bahasa atau Kantor Bahasa di provinsi tertentu dengan media koran tertentu di kota tersebut. Cupliklah Kantor Bahasa Riau bersama harian Riau Pos dengan rubrik Alinea. Kantor Bahasa Sulawesi Tenggara bergandeng dengan Harian Rakyat Sultra dengan rubrik Bahasa, Sastra, dan Budaya. Ditambah lagi Kantor Bahasa Bali dan NTB yang menggandeng koran lokalnya.

Mari kita arif menagih kembali media berkala seperti: Mastra Kandaga (Kantor Bahasa Banten), Widya Parwa (Kantor Bahasa Yogyakarta), Humaniora (FIB UGM), Widya Dharma (USD Yogyakarta), Diksi (UNY Yogyakarta), Semiotika (UST Yogyakarta), Seni (ISI Yogyakarta), Citra Yogya (DK Yogyakarta), Haluan Sastra Budaya (FIB UNS Solo), Kajian Bahasa dan Sastra (UMS Solo), Kajian Sastra (FIB Undip Semarang), Widya Pustaka (FIB Unud Bali), Lontara (Unhas Makassar), Puitika (FIB Unand Padang), Pengajaran Bahasa dan Sastra (Depdikbud Jakarta), Majalah Ilmu-Ilmu Sastra Indonesia (FIB UI Jakarta), Fenolingua dan Magistra (Unwidha Klaten).

Bukankah data media ini bisa dideret di PTN pun PTS seluruh Indonesia? Apa kabar publikasi kesastraannya? Belum lagi kehadiran (lalu tenggelam) majalah trendi Majas (Jakarta), Jurnal Madah dan Serindit (Riau), Sabana (Yogyakarta), Kidung dan Suluk (DK Jatim). Bagaimana kabarnya kini?

Pertumbuhan, perkembangan, dan penyebaran kritik sastra Indonesia memang sangat lambat jika dibandingkan dengan siar karya sastra yang memiliki wawasan dan pandangan luas atau netral seperti dikabarkan HB Jassin. Tengara pokok disebabkan oleh pluralitas karya sastra yang menuntut kepekaan khusus dari para kritisi atau penelaah sastra dalam upaya pemahaman total, serta menggali nilai bulat dari karya tersebut.

Kritisi sastra Indonesia pada umumnya adalah deretan penulis kreatif serba bisa dan sangat terpengaruh aliran atau mazhab sastra yang dianutnya. Akibatnya terjadi kesulitan ketika menilai karya yang berada di luar kerangka mazhab yang diilmuinya. Efek yang menjadi cemooh terkini yakni kritisi kurang menjadi objektif dan cenderung subjektif belaka. Namun subjektivitas bukanlah harga mati. Subjektivitas tak membuat pengaburan isi karya. Sebagai teladan romantisme yakni Arief Budiman, A Teeuw, pun Subagio Sastrowardoyo.

Tak silap hati jika Korrie Layun Rampan pun menegasi bahwa pada pokoknya kritik sastra harus berangkat dari subjektivitas untuk meraup objektivitas. Subjektivitas untuk mencapai objektivitas, ditopang visi, keseriusan, dan telaten sangat dituntut pada diri sosok kritisi, di samping mengusasi perangkat teori. Karena itu, tuntutan kritisi kiwari adalah totalitas yang multifaset, pengalaman literer yang ultima. Pembaca kiwari bilang “melek kecakapan literasi”.

 

Aspirasi Kritisi di Web

Boyongan bedhol desa. Jagat cetak media kertas melompat ke dunia maya si website. Kritisi terkini pun kembang kempis. Menyerah. Tamsilnya herd immunity, hidup segan mati pun enggan. Coba jenguk majalahelipsis.com. Sayang, tiga tahun laju, sastramedia.com tumbang kemarin.

Kendala utama terkini yang membelit para penulis kritik sastra (sambil lalu) atau kritikan bisu ala verbalitas literer adalah media publikasi yang mapan. Bagi kaum akademisi (dosen) tentunya sudah tersedia wadah kritikan, tetapi risiko yang mencolok adalah benturan fulus dan manajemen ajek terbit. Bagi penulis luar pun terasa sekarat, tidak sedikit media menutup rubrik kritik sastra, manakala dunia web masih setengah hati.

Tiliklah paruh kedua 1990-an hingga ujung 2024 ini sudah berjubel penerbitan karya: puisi, cerpen, novelet, novel, drama, antologi esai sastra; tetapi penanggapnya begitu miskin. Karya sastra ibarat menyampah. Apakah ekspresi kesastraan Indonesia telah mengidap diskomunikasi dengan masyarakat pembacanya?

Kegeniusan ala Seno Gumira Ajidarma, Titis Basino PI, Tere Liye, Ahmad Fuadi, Andrea Hirata, Joko Pinurbo, Kiki Sulistyo sebagai contoh, tak mendapat perhatian serius. Mengapa periset sastra di Kantor Bahasa yang eksis di hampir setiap provinsi masih tidur untuk media? Mengapa belakangan ini tidak sedikit dosen sastra (Indonesia) bisu bersastra?

Sekadar menjumput tokoh terkini menggegas sastra, ada Prof. Djoko Saryono (FIB UNM Malang), Prof. Abdul Wachid BS (IAIN Purwokerto), Dr. Teguh Trianton (UMP Purwokerto), Dr. S. Prasetyo Utomo (Universitas PGRI Semarang), Yusri Fajar, M.A. (FIB Universitas Brawijaya Surabaya), Dr. Aprinus Salam (FIB UGM Yogyakarta), Prof. Wiyatmi (FIB UNY Yogyakarta), pun Prof. Nugraheni EW (FKIP UNS Surakarta) yang dewasa mengunyah sastra. Apa kabar para master?

Sebagai penutup, kritisi adalah dia yang menyoroti dan menganalisis buah sastra dalam perspektif kesejarahan dan filsafat, tetapi juga dia yang sekadar memberi timbangan dan komentar. Soal tepatnya orang diberi julukan kritisi, pembahas, atau hanya sekadar komentator adalah soal penentuan nilai dan gelar dan tidak bersangkutan dengan pengertian pokok (Subagio Sastrowardoyo, 1966, di ig badan bahasa kemendikbud). Semoga Anda intens menjadi penanggap sastra Indonesia kiwari yang bandel. Dan pada suatu masa nanti website porosbumi.com menjadi arena aspirasi-aspirasi tegar tengkuk tadi, tak terkecuali jagat sastra. ***

 

 

 

           

 


Scroll to top