BERITA INDEX BERITA

Swasembada Pangan, Narasi Usang Namun Maha Penting Digaungkan

tilikan | DiLihat : 730 | Selasa, 05 November 2024 | 10:44
Swasembada Pangan, Narasi Usang Namun Maha Penting Digaungkan

Hendri Irawan

Pemimpin Redaksi porosbumi.com

 

“Saya tekankan, dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, kita harus mencapai swasembada pangan. Kita harus mampu memenuhi dan memproduksi kebutuhan pangan seluruh rakyat Indonesia,” tegas Presiden Prabowo Subianto, di Gedung MPR, Senayan, Jakarta, Minggu (20/10/2024)

Penegasan Prabowo dalam pidato perdananya setelah dilantik sebagai Presiden ke-8 Republik Indonesia, tentu patut diapresiasi, terutama wajib dikawal dan diwujudkan oleh para menteri di Kabinet Merah Putih. Apalagi dengan dukungan para pakar, Prabowo menargetkan bahwa dalam 4-5 tahun, Indonesia akan mampu memenuhi kebutuhan pangan seluruh rakyatnya dan siap menjadi lumbung pangan dunia.

“Kita tidak boleh tergantung pada sumber makanan dari luar. Dalam keadaan genting, tidak ada yang akan mengizinkan barang-barang mereka untuk kita beli,” tegas Prabowo lagi.

Diketahui, Presiden Prabowo telah melantik lebih banyak pejabat yang secara khusus mengurus soal pangan, bahkan sampai dibentuk Kementerian Koordinator Bidang Pangan yang dikomandoi Zulkifli Hasan. Dengan begitu, seharusnya pemerintah punya cukup sumber daya untuk mendorong perbaikan dan perwujudan swasembada pangan.

Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Koordinator (Kemenko) Bidang Pangan, mengumumkan alokasi anggaran sebesar Rp139,4 triliun untuk mendukung program swasembada pangan pada 2025. Dana itu, akan digunakan untuk berbagai program strategis yang dirancang untuk meningkatkan ketahanan pangan nasional serta memberikan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia.

“Kita perlu menyatukan langkah dan membentuk tim kerja sama yang kuat untuk mencapai tujuan swasembada pangan. Anggaran untuk ketahanan pangan di tahun 2025 cukup besar, yaitu sekitar Rp139,4 triliun, namun akan tersebar di beberapa kementerian dan lembaga, seperti Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kementerian Pekerjaan Umum (PU), serta dana pupuk yang dikelola oleh BUMN,” ujar Menko Zulkifli Hasan, setelah mengadakan rapat koordinasi bidang pangan di Kantor Kementerian Perdagangan pada Rabu (30/10/2024).

Agenda rapat tersebut berfokus pada program dan anggaran Kemenko Pangan serta kementerian dan lembaga yang berada di bawah koordinasi Kemenko Pangan. Selain dari anggaran pemerintah pusat, bahwa terdapat alokasi anggaran untuk desa yang juga mendukung ketahanan pangan. “Dana desa tahun depan mengalokasikan Rp16,259 triliun untuk ketahanan pangan,” jelas Menko Zulhas.

Program swasembada pangan yang dirancang bertujuan untuk mengatasi berbagai tantangan serta mendukung ketahanan pangan nasional. Rapat koordinasi ini dilakukan untuk menyatukan kinerja semua kementerian dan lembaga terkait agar target swasembada pangan dapat direalisasikan dengan baik.

Dalam pelaksanaannya, program ini tidak hanya berfokus pada satu jenis bahan pokok pangan, melainkan akan mencakup berbagai komoditas, seperti beras, jagung, tebu, kacang kedelai, kopi, hingga kakao untuk bahan dasar cokelat. Dengan alokasi anggaran yang telah direncanakan, diharapkan dapat meningkatkan kapasitas produksi pangan dalam negeri, terutama untuk komoditas strategis seperti beras, jagung, kedelai, kopi, dan cokelat.

 

Kejayaan Pangan di Era Orde Baru

Bahwa ketahanan dan swasembada pangan adalah prioritas utama pemerintah sesungguhnya sebuah narasi usang, namun memang tetap penting untuk digaungkan. Karena sangat disadari, ketahanan pangan merupakan langkah strategis untuk menjamin kesejahteraan dan kemandirian bangsa di tengah tantangan global yang terus berkembang.

Sejatinya, Indonesia memiliki potensi besar untuk memajukan sektor pangan dan mengurangi ketergantungan pada pangan impor. Bahkan, masa pemerintahan Orde Baru dengan presidennya Soeharto pernah mencapai swasembada pangan. Ini lantaran salah satu fokus perhatian pemerintah kala itu adalah di bidang pertanian dengan fokus kepada peningkatan hasil produksi beras.

Pada masa awal pemerintahan Orde Baru, Indonesia menjadi salah satu negara pengimpor beras terbesar di dunia. Sedangkan produksi beras nasional hanya 12 juta ton pada tahun 1969. Upaya peningkatan hasil produksi beras selanjutnya ditempuh melalui intensifikasi pertanian dan ekstensifikasi pertanian.

Selanjutnya pemerintah melalui program Bimbingan Masal (Bimas) berupaya mendorong peningkatan hasil produksi beras. Program Bimas kemudian dikembangkan menjadi Bimas Gotong Royong yang melibatkan peran swasta nasional serta swasta asing. Tujuan dari Bimas Gotong Royong yakni untuk meningkatkan produksi beras nasional dengan memberi bantuan pupuk serta pestisida pada petani.

Program Bimas Gotong Royong kemudian disempurnakan menjadi Bimas Nasional melalui Keputusan Presiden No 95 Tahun 1969. Melalui Bimas Nasional, petani memperoleh Intensifikasi Masal (Inmas) serta Intensifikasi Khusus (Insus). Selain menggerakkan intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian, pemerintah juga menerapakan diversifikasi pertanian dengan menggabungkan teknologi dan pertanian.

Program serta kebijakan yang diberlakukan pada masa pemerintahan Soeharto tersebut berhasil membawa Indonesia mencapai swasembada pangan pada tahun 1984. Indonesia selanjutnya mampu menjadi negara pengekspor pangan setelah sebelumnya hanya mengandalkan impor.

Atas keberhasilan Indonesia menjadi negara swasembada pangan dan pada tahun 1985 Presiden Soeharto diundang oleh Direktur Jenderal Food an Agriculture Organization (FAO), Edward Saouma untuk hadir dalam Forum Dunia pada tanggal 14 November 1985 di Roma, Italia untuk memaparkan keberhasilan Indonesia dalam mencapai swasembada pangan.

Dalam kesempatan tersebut, Presiden Soeharto menyampaikan bahwa keberhasilan pembangunan pangan merupakan hasil dari kerja raksasa suatu bangsa. Presiden Soeharto atas nama rakyat Indonesia juga menyerahkan bantuan berupa 100.000 ton padi kepada korban kelaparan di sejumlah negara Afrika. Bantuan tersebut merupakan sumbangan dari kaum petani Indonesia sekaligus menegaskan bahwa negara-negara yang sedang membangun dapat meningkatkan kemampuannya sendiri.

 

Keberpihakan Kebijakan ‘Politik Pertanian’

Pidato perdana Presiden Prabowo Subianto, bahwa Indonesia harus mewujudkan swasembada pangan dalam waktu yangsesingkat-singkatnya, membuka babak baru dalam pemerintahan Indonesia dengan visi besar yang berfokus pada ketahanan pangan, ekonomi berkelanjutan, dan ketahanan nasional. Masyarakat Indonesia terutama kalangan petani menaruh harapan besar agar langkah-langkah yang diambil oleh pemerintah dapat diwujudkan dengan nyata.

Masyarakat juga berharap bahwa program-program yang dirancang tidak hanya fokus pada peningkatan produksi pangan, tetapi juga memerhatikan kebutuhan mereka untuk mendapatkan akses yang lebih baik terhadap alat mesin pertanian, benih unggul, dan pelatihan di sektor pertanian. Dukungan dalam pembiayaan dan pemasaran hasil pertanian juga menjadi perhatian utama, dengan harapan agar pendapatan mereka meningkat dan kehidupan mereka lebih sejahtera.

Sekadar diketahui, beberapa tahun sebelum dilantiknya Prabowo Subianto sebagai Presiden RI ke-8, persisnya saat pandemi Covid-19 melanda dan merubah tatanan kehidupan dunia, banyak pihak mendorong pemerintah untuk fokus pada pembangunan di sektor pangan. Bahkan, salah satu organisasi yang konsen terhadap isu-isu pertanian (ketahanan pangan), yakni Pandutani Indonesia (Patani) sempat meluncurkan sebuah buku berjudul “Jebakan Krisis dan Ketahanan Pangan: Sehimpun Saran & Solusi”.

Buku berupa bunga rampai yang disunting Jailani Ali Muhammad-eks Kepala Editor Bahasa KORAN SINDO ini ditulis 9 tokoh berkompeten. Salah satunya Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang didapuk sebagai penulis tamu sekaligus mewakili tokoh muda Indonesia.

“Keberpihakan kebijakan ‘politik pertanian’ mesti dijalankan oleh semua stakeholders, termasuk partai politik, untuk memberikan affirmative actions kepada para petani. Di tahap awal, upaya bisa dijalankan melalui pemberian stimulus untuk meningkatkan hasil produksi pertanian. Selanjutnya, stimulus juga perlu diberikan untuk menekan tren negatif dalam penurunan penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian,” tulis AHY dalam buku tersebut.

Masih dalam tulisannya, AHY juga menyinggung, bahwa di tengah ketidakpastian kondisi ekonomi nasional akibat dampak pandemi Covid-19, sektor pertanian ternyata masih mampu berkontribusi besar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sektor pertanian menjadi satu-satunya dari lima besar sektor utama yang masih bisa bertahan di angka positif, yakni 2,19%.

Namun begitu, kutip AHY, berdasarkan hasil penelitian Institut Pertanian Bogor (IPB) pada Juni 2020, dampak jangka panjang pandemi akan menimbulkan masalah berat bagi sektor pertanian, yang diperkirakan akan mengalami tekanan serius di sisi penawaran dan permintaan.

Tekanan itu berpotensi terasa lebih berat jika muncul risiko iklim ekstrem dan juga gelombang ruralisasi atau perpindahan penduduk dari kota ke desa, yang disebabkan oleh ketidakmampuan masyarakat bertahan di kehidupan perkotaan yang menuntut biaya hidup (living cost) tinggi di tengah pandemi.

“Di sinilah keberpihakan ‘politik pertanian’ melalui penetapan prioritas kebijakan dan perbaikan tata kelola pertanian nasional menjadi terasa penting dan relevan untuk dilakukan,” ujar AHY yang kini menjabat Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Permukiman Wilayah (IPK).

Masih di buku yang sama, penulis lainnya, Prof Rokhmin Danuri (eks Menteri Kelautan dan Perikanan pada Kabinet Gotong Royong) di tulisannya yang berjudul “Peta Jalan Menuju Kedaulatan Pangan Nasional”, bahwa dalam jangka panjang kekurangan pangan di suatu negara akan mewariskan generasi yang lemah, kurang cerdas, dan tidak produktif - a lost generation. Dengan kualitas SDM semacam ini, tidaklah mungkin sebuah bangsa bisa maju dan sejahtera.

“Indonesia akan terhindar dari ancaman krisis pangan akibat pandemi Covid-19 dengan mengutamakan kesejahteraan petani, nelayan, dan produsen pangan lainnya. Kemudian, menjaga supaya seluruh unit usaha produksi pangan dan industri pengolahan pangan yang ada di seluruh Nusantara tetap berproduksi,” kata Ketua Umum Gerakan Nelayan dan Tani Indonesia ini.

Dalam jangka menengah – panjang, Indonesia harus terus meningkatkan kapasitas dan etos kerja petani dan nelayan melalui program pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan secara berkesinambungan. Kapasitas R & D pun mesti terus ditingkatkan agar mampu menghasilkan beragam inovasi IPTEKS untuk menopang sektor ekonomi pangan yang produktif, efisien, berdaya saing, inklusif, dan sustainable.

“Akhirnya, dengan kebijakan politik-ekonomi (seperti moneter, fiskal, ketenagakerjaan, otonomi daerah, dan iklim investasi) yang kondusif, insya Allah Indonesia tidak hanya akan berdaulat pangan dalam waktu dekat, tetapi juga bakal mampu ‘feeding the world’,” papar Vice Chairman of International Scientific Advisory Board of Center for Coastal and Ocean Development, University of Bremen, Germany.

 

 


Scroll to top