BERITA INDEX BERITA
Swasembada Pangan, Narasi Usang Namun Maha Penting Digaungkan
Hendri Irawan
Pemimpin Redaksi porosbumi.com
“Saya
tekankan, dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, kita harus mencapai swasembada
pangan. Kita harus mampu memenuhi dan memproduksi kebutuhan pangan seluruh
rakyat Indonesia,” tegas Presiden Prabowo Subianto, di Gedung MPR, Senayan,
Jakarta, Minggu (20/10/2024)
Penegasan Prabowo
dalam pidato perdananya setelah dilantik sebagai Presiden ke-8 Republik
Indonesia, tentu patut diapresiasi, terutama wajib dikawal dan diwujudkan oleh para
menteri di Kabinet Merah Putih. Apalagi dengan dukungan para pakar, Prabowo menargetkan
bahwa dalam 4-5 tahun, Indonesia akan mampu memenuhi kebutuhan pangan seluruh
rakyatnya dan siap menjadi lumbung pangan dunia.
“Kita tidak
boleh tergantung pada sumber makanan dari luar. Dalam keadaan genting, tidak
ada yang akan mengizinkan barang-barang mereka untuk kita beli,” tegas Prabowo
lagi.
Diketahui, Presiden
Prabowo telah melantik lebih banyak pejabat yang secara khusus mengurus soal
pangan, bahkan sampai dibentuk Kementerian Koordinator Bidang Pangan yang
dikomandoi Zulkifli Hasan. Dengan begitu, seharusnya pemerintah punya cukup
sumber daya untuk mendorong perbaikan dan perwujudan swasembada pangan.
Pemerintah
Indonesia, melalui Kementerian Koordinator (Kemenko) Bidang Pangan, mengumumkan
alokasi anggaran sebesar Rp139,4 triliun untuk mendukung program swasembada
pangan pada 2025. Dana itu, akan digunakan untuk berbagai program strategis
yang dirancang untuk meningkatkan ketahanan pangan nasional serta memberikan
kesejahteraan bagi rakyat Indonesia.
“Kita perlu
menyatukan langkah dan membentuk tim kerja sama yang kuat untuk mencapai tujuan
swasembada pangan. Anggaran untuk ketahanan pangan di tahun 2025 cukup besar,
yaitu sekitar Rp139,4 triliun, namun akan tersebar di beberapa kementerian dan
lembaga, seperti Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan
(KKP), Kementerian Pekerjaan Umum (PU), serta dana pupuk yang dikelola oleh
BUMN,” ujar Menko Zulkifli Hasan, setelah mengadakan rapat koordinasi bidang
pangan di Kantor Kementerian Perdagangan pada Rabu (30/10/2024).
Agenda rapat
tersebut berfokus pada program dan anggaran Kemenko Pangan serta kementerian
dan lembaga yang berada di bawah koordinasi Kemenko Pangan. Selain dari
anggaran pemerintah pusat, bahwa terdapat alokasi anggaran untuk desa yang juga
mendukung ketahanan pangan. “Dana desa tahun depan mengalokasikan Rp16,259
triliun untuk ketahanan pangan,” jelas Menko Zulhas.
Program
swasembada pangan yang dirancang bertujuan untuk mengatasi berbagai tantangan
serta mendukung ketahanan pangan nasional. Rapat koordinasi ini dilakukan untuk
menyatukan kinerja semua kementerian dan lembaga terkait agar target swasembada
pangan dapat direalisasikan dengan baik.
Dalam
pelaksanaannya, program ini tidak hanya berfokus pada satu jenis bahan pokok
pangan, melainkan akan mencakup berbagai komoditas, seperti beras, jagung,
tebu, kacang kedelai, kopi, hingga kakao untuk bahan dasar cokelat. Dengan
alokasi anggaran yang telah direncanakan, diharapkan dapat meningkatkan
kapasitas produksi pangan dalam negeri, terutama untuk komoditas strategis
seperti beras, jagung, kedelai, kopi, dan cokelat.
Kejayaan
Pangan di Era Orde Baru
Bahwa
ketahanan dan swasembada pangan adalah prioritas utama pemerintah sesungguhnya
sebuah narasi usang, namun memang tetap penting untuk digaungkan. Karena sangat
disadari, ketahanan pangan merupakan langkah strategis untuk menjamin
kesejahteraan dan kemandirian bangsa di tengah tantangan global yang terus
berkembang.
Sejatinya, Indonesia
memiliki potensi besar untuk memajukan sektor pangan dan mengurangi
ketergantungan pada pangan impor. Bahkan, masa pemerintahan Orde Baru dengan presidennya
Soeharto pernah mencapai swasembada pangan. Ini lantaran salah satu fokus
perhatian pemerintah kala itu adalah di bidang pertanian dengan fokus kepada
peningkatan hasil produksi beras.
Pada masa
awal pemerintahan Orde Baru, Indonesia menjadi salah satu negara pengimpor
beras terbesar di dunia. Sedangkan produksi beras nasional hanya 12 juta ton
pada tahun 1969. Upaya peningkatan hasil produksi beras selanjutnya ditempuh
melalui intensifikasi pertanian dan ekstensifikasi pertanian.
Selanjutnya
pemerintah melalui program Bimbingan Masal (Bimas) berupaya mendorong
peningkatan hasil produksi beras. Program Bimas kemudian dikembangkan menjadi Bimas
Gotong Royong yang melibatkan peran swasta nasional serta swasta asing. Tujuan
dari Bimas Gotong Royong yakni untuk meningkatkan produksi beras nasional
dengan memberi bantuan pupuk serta pestisida pada petani.
Program Bimas
Gotong Royong kemudian disempurnakan menjadi Bimas Nasional melalui Keputusan
Presiden No 95 Tahun 1969. Melalui Bimas Nasional, petani memperoleh
Intensifikasi Masal (Inmas) serta Intensifikasi Khusus (Insus). Selain
menggerakkan intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian, pemerintah juga
menerapakan diversifikasi pertanian dengan menggabungkan teknologi dan
pertanian.
Program
serta kebijakan yang diberlakukan pada masa pemerintahan Soeharto tersebut
berhasil membawa Indonesia mencapai swasembada pangan pada tahun 1984.
Indonesia selanjutnya mampu menjadi negara pengekspor pangan setelah sebelumnya
hanya mengandalkan impor.
Atas
keberhasilan Indonesia menjadi negara swasembada pangan dan pada tahun 1985
Presiden Soeharto diundang oleh Direktur Jenderal Food an Agriculture
Organization (FAO), Edward Saouma untuk hadir dalam Forum Dunia pada tanggal 14
November 1985 di Roma, Italia untuk memaparkan keberhasilan Indonesia dalam
mencapai swasembada pangan.
Dalam
kesempatan tersebut, Presiden Soeharto menyampaikan bahwa keberhasilan
pembangunan pangan merupakan hasil dari kerja raksasa suatu bangsa. Presiden
Soeharto atas nama rakyat Indonesia juga menyerahkan bantuan berupa 100.000 ton
padi kepada korban kelaparan di sejumlah negara Afrika. Bantuan tersebut
merupakan sumbangan dari kaum petani Indonesia sekaligus menegaskan bahwa
negara-negara yang sedang membangun dapat meningkatkan kemampuannya sendiri.
Keberpihakan
Kebijakan ‘Politik Pertanian’
Pidato perdana Presiden Prabowo Subianto, bahwa Indonesia harus mewujudkan
swasembada pangan dalam waktu yangsesingkat-singkatnya, membuka babak baru
dalam pemerintahan Indonesia dengan visi besar yang berfokus pada ketahanan
pangan, ekonomi berkelanjutan, dan ketahanan nasional. Masyarakat Indonesia terutama
kalangan petani menaruh harapan besar agar langkah-langkah yang diambil oleh
pemerintah dapat diwujudkan dengan nyata.
Masyarakat juga
berharap bahwa program-program yang dirancang tidak hanya fokus pada
peningkatan produksi pangan, tetapi juga memerhatikan kebutuhan mereka untuk
mendapatkan akses yang lebih baik terhadap alat mesin pertanian, benih unggul,
dan pelatihan di sektor pertanian. Dukungan dalam pembiayaan dan pemasaran
hasil pertanian juga menjadi perhatian utama, dengan harapan agar pendapatan
mereka meningkat dan kehidupan mereka lebih sejahtera.
Sekadar diketahui,
beberapa tahun sebelum dilantiknya Prabowo Subianto sebagai Presiden RI ke-8, persisnya
saat pandemi Covid-19 melanda dan merubah tatanan kehidupan dunia, banyak pihak
mendorong pemerintah untuk fokus pada pembangunan di sektor pangan. Bahkan, salah
satu organisasi yang konsen terhadap isu-isu pertanian (ketahanan pangan), yakni
Pandutani Indonesia (Patani) sempat meluncurkan sebuah buku berjudul “Jebakan
Krisis dan Ketahanan Pangan: Sehimpun Saran & Solusi”.
Buku berupa
bunga rampai yang disunting Jailani Ali Muhammad-eks Kepala Editor Bahasa KORAN
SINDO ini ditulis 9 tokoh berkompeten. Salah satunya Agus Harimurti Yudhoyono
(AHY) yang didapuk sebagai penulis tamu sekaligus mewakili tokoh muda
Indonesia.
“Keberpihakan
kebijakan ‘politik pertanian’ mesti dijalankan oleh semua stakeholders,
termasuk partai politik, untuk memberikan affirmative actions kepada
para petani. Di tahap awal, upaya bisa dijalankan melalui pemberian stimulus
untuk meningkatkan hasil produksi pertanian. Selanjutnya, stimulus juga perlu
diberikan untuk menekan tren negatif dalam penurunan penyerapan tenaga kerja di
sektor pertanian,” tulis AHY dalam buku tersebut.
Masih dalam tulisannya,
AHY juga menyinggung, bahwa di tengah ketidakpastian kondisi ekonomi
nasional akibat dampak pandemi Covid-19, sektor pertanian ternyata masih mampu
berkontribusi besar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Berdasarkan data
Badan Pusat Statistik (BPS), sektor pertanian menjadi satu-satunya dari lima
besar sektor utama yang masih bisa bertahan di angka positif, yakni 2,19%.
Namun
begitu, kutip AHY, berdasarkan hasil penelitian Institut Pertanian Bogor (IPB)
pada Juni 2020, dampak jangka panjang pandemi akan menimbulkan masalah berat
bagi sektor pertanian, yang diperkirakan akan mengalami tekanan serius di sisi
penawaran dan permintaan.
Tekanan itu
berpotensi terasa lebih berat jika muncul risiko iklim ekstrem dan juga
gelombang ruralisasi atau perpindahan penduduk dari kota ke desa, yang
disebabkan oleh ketidakmampuan masyarakat bertahan di kehidupan perkotaan yang
menuntut biaya hidup (living cost) tinggi di tengah pandemi.
“Di sinilah
keberpihakan ‘politik pertanian’ melalui penetapan prioritas kebijakan dan
perbaikan tata kelola pertanian nasional menjadi terasa penting dan relevan
untuk dilakukan,” ujar AHY yang kini menjabat Menteri Koordinator Bidang
Infrastruktur dan Permukiman Wilayah (IPK).
Masih di buku
yang sama, penulis lainnya, Prof Rokhmin Danuri (eks Menteri Kelautan dan
Perikanan pada Kabinet Gotong Royong) di tulisannya yang berjudul “Peta Jalan
Menuju Kedaulatan Pangan Nasional”, bahwa dalam jangka panjang kekurangan
pangan di suatu negara akan mewariskan generasi yang lemah, kurang cerdas, dan
tidak produktif - a lost generation. Dengan kualitas SDM semacam
ini, tidaklah mungkin sebuah bangsa bisa maju dan sejahtera.
“Indonesia
akan terhindar dari ancaman krisis pangan akibat pandemi Covid-19 dengan
mengutamakan kesejahteraan petani, nelayan, dan produsen pangan lainnya. Kemudian,
menjaga supaya seluruh unit usaha produksi pangan dan industri pengolahan
pangan yang ada di seluruh Nusantara tetap berproduksi,” kata Ketua Umum
Gerakan Nelayan dan Tani Indonesia ini.
Dalam jangka
menengah – panjang, Indonesia harus terus meningkatkan kapasitas dan etos kerja
petani dan nelayan melalui program pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan secara
berkesinambungan. Kapasitas R & D pun mesti terus
ditingkatkan agar mampu menghasilkan beragam inovasi IPTEKS untuk menopang
sektor ekonomi pangan yang produktif, efisien, berdaya saing, inklusif,
dan sustainable.
“Akhirnya,
dengan kebijakan politik-ekonomi (seperti moneter, fiskal, ketenagakerjaan,
otonomi daerah, dan iklim investasi) yang kondusif, insya Allah Indonesia tidak
hanya akan berdaulat pangan dalam waktu dekat, tetapi juga bakal mampu ‘feeding
the world’,” papar Vice Chairman of International Scientific
Advisory Board of Center for Coastal and Ocean Development, University of
Bremen, Germany.