BERITA INDEX BERITA
Indonesia: Kerja dan Tidur
Bandung Mawardi
Bapak rumah tangga dan tukang kliping
DI mimbar terhormat, Prabowo Subianto mengatakan dengan
lantang: “Pemimpin harus bekerja untuk rakyat!” Ia berulang mengucap “kerja”,
bermaksud menebar pesan mengenai “rezim kerja”. Tepuk tangan menjadi jawaban
atas perintah dan ajakan bekerja. Pidato di Jakarta, 20 Oktober 2024,
memastikan Prabowo Subianto ingin semua pejabat bekerja. Ia pun mengingatkan
jutaan orang Indonesia sulit mencari pekerjaan.
Sehari setelah pelantikan para menteri dalam Kabinet Merah
Putih, 21 Oktober 2024, tokoh politik dari Partai Gerindra berharap
menteri-menteri bekerja 24 jam setiap hari. Ia bicara serius tapi berlebihan.
Kita susah mufakat jika para menteri setiap hari bekerja 24 jam. Menteri
memerlukan tidur atau istirahat. Tokoh politik itu ingin dipuji Prabowo
Subianto ikut tebar makna kerja.
Pada 8 Oktober 2024, Joko Widodo memberi keterangan di
hadapan para wartawan. Ia mengatakan bakal pulang ke Solo seusai pelantikan
Prabowo Subianto sebagai Presiden RI. Joko Widodo rampung menunaikan
kerja-kerja besar selama 10 tahun. Para wartawan penasaran mengenai
agenda-agenda Joko Widodo bila pulang ke Solo. Sosok berpengaruh itu memberi
jawaban mengandung kelakar. Ia ingin tidur. Jawaban tentang tidur disampaikan
lagi kepada para wartawan saat Minggu, 20 Oktober 2024. Pulang ke rumah dan
tidur itu jawaban sederhana tapi para wartawan ingin pembuktian.
Kita ikhlas jika Joko Widodo ingin tidur, tak lagi berseru
“kerja, kerja, kerja”. Konon, tidur itu hak dan cita-cita. Kita berganti
mengingat tokoh dan masa. Lelaki mahir berpidato itu tidur dalam kondisi sakit
dan lelah setelah memikirkan nasib Indonesia. Di kamar, ia mengerti tak bakal
bisa tidur lelap dan lama. Pada 17 Agustus 1945, pertaruhan sejarah sedang
digelar. Tidur sejenak dialami oleh Soekarno, berlanjut membuka mata dan
menggerakkan sejarah untuk Indonesia. Ingatan tak boleh diabaikan: sejarah Indonesia
dibentuk dengan tidur.
Malam dan dini hari dalam rapat menegangkan pun berakibat
tubuh Hatta lelah. Pagi, ia memilih tidur sebelum bergerak ke rumah Soekarno,
hadir dan berperan dalam pembuatan sejarah Indonesia. Tokoh penting dalam rapat
dan pembahasan teks proklamasi (sebelum pagi) memilih tak hadir: Ahmad
Soebardjo. Di ranjang, ia tidur agak lama. Tidur sebagai tebusan dari
keberanian dan risiko memikirkan Indonesia.
Tidur terus menjadi cerita dalam kekuasaan. Gus Dur menjadi
pusat perhatian gara-gara tidur, omongan, dan tawa. Pada masa berkuasa, SBY
pernah marah-marah mengetahui orang-orang tidur di ruangan saat itu berpidato.
Tidur menghasilkan berita-berita pantas dikliping untuk mengetahui Indonesia.
Joko Widodo tak ketinggalan ikut mengisahkan tidur memicu perdebatan bertema
kekuasaan.
Kita memiliki sumber-sumber ajaran tidur tapi makin
bermasalah tidur pada abad XXI. Para ilmuwan gencar membuat riset-riset tidur.
Pebisnis dan kaum modal menjadikan tidur itu raihan laba besar. Tidur menjadi
“industri” berbarengan dengan kebingungan manusia (kembali) mengerti tidur
secara alamiah. Sulit memahami tidur ditambah kisruh-kisruh kekuasaan tak
mengenal pembatasan waktu: pagi, siang, sore, malam.
Perkara tidur dijawab oleh presiden, hotel, dokter, ulama, musik, obat, dan lain-lain. Kini, kita ingin belajar lagi tidur melalui puisi gubahan Emha Ainun Nadjib (1986) berjudul “Ajari Aku Tidur”. Puisi kalem saja: Tuhan Sayang, ajari aku tidur/ sejak di rahim bisaku cuma tidur/ tapi sejauh ini usiaku tak juga bisa tidur/ Tuhan Sayang, tak kurang-kurang Engkau menghibur/ namun setiap kali badan terbujur rohku bangkit/ memekik-mekik.
Pada saat tampil sebagai penggubah sastra, berdiri di panggung
teater, dan sibuk berkhotbah, Emha Ainun Nadjib berada dalam situasi samar
mengenai tidur. Ia terbiasa sekadar terpejam. Tidur bukan kemanjaan dan
kemalasan. Ia mengerti tidur mungkin kekuatan tapi mesti diberkati Tuhan.
Kita mungkin ingin menaruh masalah tidur Emha dalam ledekan
kekuasaan. Pada masa Orde Baru, para pejabat atau penghuni gedung parlemen
biasa memilih tidur ketimbang memikirkan beras, permukiman, pendidikan, atau
jalan dibutuhkan oleh jutaan orang di seantero Indonesia. Ia sengaja tak
menggamblangkan bila kekuasaan sedang tidur berakibat lupa kewajiban-kewajiban.
Tidur dan kekuasaan jangan selalu dipikirkan dari jenis
kasur atau ranjang di istana atau rumah megah. Kita menikmati puisi saja untuk
mengerti tidur, terhindar dari jengkel dan curiga mengarah ranjang para
penguasa. Subagio Sastrowardoyo dalam puisi berjudul “Di Ujung Ranjang” sedikit
berpetuah: waktu tidur/ tak ada yang menjamin/ kau bisa bangun lagi//
tidur adalah persiapan/ buat tidur lebih lelap// di ujung ranjang/ menjaga
bidadari/ menyanyi nina-bobo.
Puisi pendek bukan untuk membalas pemborosan waktu dilakukan
orang-orang gampang dan suka tidur. Konon, usia kita habis oleh jam-jam tidur
bila dijumlahkan, sejak lahir sampai menua. Kita diajak memikirkan tidur dan
kematian. Mata terpejam mengartikan tak lagi melihat dunia. Mata itu terbebas
dari tontonan-tontonan buruk dalam kekuasaan atau industri picisan menguasai
dunia.
Pada masa lalu, kita pernah mendapat tuturan-tuturan bijak
para leluhur. Orang-orang sedang berkuasa dan menentukan nasib jutaan orang
diminta mengurangi tidur. Waktu-waktu digunakan dalam perwujudan kesejahteraan,
kerukunan, kebahagiaan, dan lain-lain. Pejabat-pejabat suka tidur atau kelamaan
tidur dituduh lungkrah akal dan gagal bijak dalam mengurusi negara.
Petuah-petuah dari masa lalu itu mungkin dianggap omong kosong oleh orang-orang
terlena kekuasaan dan keberlimpahan harta.
Pada abad XXI, tidur terlalu bermasalah. Kita menduga itu
melebihi masalah politik. Pada 1986, Afrizal Malna dalam puisi berjudul “Jam
Kerja Telepon” memberi peringatan: Tetapi Merlin tak ada di mana-mana,
seperti dunia/ tak ada di mana-mana, seperti orang tak ada di mana-/ mana.
Merlin telah menjadi pamflet dari keinginan jadi/ manusia. Tolong sambungkan
saya dengan dunia/ mana pun, Merlin. Saya Merlin. Tetapi Merlin tak ada/ di
mana-mana. Merlin sedang jadi bintang, mengubah dunia jadi obar tidur. Misi
terindah dalam hidup dalam situasi mutakhir itu tidur. Kita perlahan mengerti
bila tidur bukan perkara mudah dan murah.
Emha Ainun Nadjib (1982) dalam puisi berjudul “Tidur”
mengajak pembaca dalam renungan pelik. Tidur itu misteri. Emha Ainun Nadjib
menulis: kalau pergi tidur, apa bisa jamin/ esok hari bisa bangun lagi. Dua
larik mungkin klise. Ia memberi perbedaan mengandung lelucon: tidur itu suatu
tuhan/ tak pernah bisa dirumuskan, kecuali oleh ilmu tolol/ atau senda gurau//
urat saraf beristirahat, tanpa bisa/ kita perintahkan, atau darah membeku/
tanpa bisa kita halangi// tidur, yang tidur/ sepertiga dari hidup kita/ lewat
dengan rahasia/ lewat dan tersia telah sekian lama/ gagal aku memahaminya.
Puisi memang tak memadai dalam memasalahkan tidur.
Di Indonesia, kita boleh berkelakar: kekuasaan memerlukan
obat tidur. Kita tak ingin penguasa suka minum obat tidur. Kita berharap
penguasa membuat kebijakan tidur dengan mengadakan konstitusi dan memberi
jaminan pemerolehan kebahagiaan dipengaruhi tidur. Begitu.