BERITA INDEX BERITA
MOKUSAKU, Solusi Darurat Penanganan Sampah Kota Prabumulih Ala INAgri dan PrabumaGGot
MENYIKAPI kondisi darurat penanganan sampah di Kota
Prabumulih saat ini, Institut Agroekologi Indonesia (INAgri) bersama komunitas
Prabumaggot Indonesia menawarkan solusi. Salah satunya, pengolahan sampah
biomassa menjadi mokusaku.
Syamsul Asinar Radjam, pendiri INAgri, menyatakan lebih dari
50% sampah yang menjadi beban TPA terdiri sampah organik. Di antara jenis
sampah organik terdapat pula sampah dari dari biomassa tumbuhan. Mulai dari
batang kayu, ranting, daun, bahkan cangkang kelapa muda. Jenis sampah ini
dihasilkan dari kegiatan penebangan dan pemangkasan pohon, sapuan taman dan
jalan, hingga usaha perdagangan kelapa.
Berdasar data KLHK, volume sampah biomassa mencapai 12-13 %
keseluruhan sampah. Sampah dari biomassa menimbulkan masalah bagi TPA karena
banyak memakan tempat, sementara TPA Kota Prabumulih dalam kondisi kelebihan
beban. Jenis sampah ini relatif tidak terolah dengan baik, karena dianggap
tidak memiliki nilai ekonomis bagi pemulung maupun pelaku usaha barang bekas
dan daur ulang.
“Ado gunonyo galo!” kata Syamsul. “Sampah biomassa
memiliki potensi besar untuk diolah menjadi arang aktif (biochar) maupun arang
biasa, dan pada saat bersamaan dapat menghasilkan mokusaku.”
Mokusaku adalah nama lain dari cuka kayu atau wood vinegar.
Cairan ini diakui sebagai cairan multi-manfaat di banyak negara. Mulai dari
pengawet makanan, pengendali hama dan penyakit tanaman, pembenah tanah,
anti-bakterial, penghilang bau di TPA maupun peternakan, dan lain sebagainya.
Syamsul yang juga aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia
(WALHI) ini mengungkapkan bahwa mokusaku juga umum dipakai sebagai pengganti
asam semut atau “cuko-parah” yang diperlukan petani karet untuk menggumpalkan
lateks.
Cuko parah atau asam semut merupakan cairan kimia yang
tergolong Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). Cairan kimia ini bersifat korosif
pada kulit. Tidak sedikit laporan menyebutkan penggunaan cuko parah
mengakibatkan kecelakaan kerja di kalangan petani karet maupun pekerja di
perusahaan pengolahan karet. Di sisi lain, cuko parah juga sering
disalahgunakan untuk kejahatan atau kriminal.
Oleh karena itu, salah satu tujuan INAgri dan PrabumaGGot
mengolah sampah biomassa tumbuhan menjadi mokusaku adalah menyediakan bahan
penggumpal lateks yang ramah lingkungan dan aman bagi petani di Prabumulih.
Mokusaku dapat diproduksi dengan teknologi sederhana dan
rendah biaya. “Karena itu kita sering memelesetkan kepanjangan mokusaku sebagai
“Modal Kayu Sampah Berkurang”, atau “Modal Kurang Segalanya Kuusahakan”,” canda
Syamsul.
Solusi Sampah Kota
Setelah satu pekan melakukan rangkaian simulasi beberapa
model teknologi, pada tanggal 28 Mei 2024, INAgri dan PrabumaGGot mengundang
keterlibatan pemerintah kota Prabumulih, terutama Dinas Lingkungan Hidup (DLH)
Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman (Dinas Perkim).
“Kondisi persampahan di Kota Prabumulih saat ini sedang
menurun. Untuk itu perlu upaya dan inovasi untuk meningkatkan pengelolaan
sampah. Khususnya, sampah organik yang prosentasenya mencapai 50% dari timbulan
sampah Kota Prabumulih,” papar Kepala Bidang Pengelolaan Sampah dan Limbah B3
DLH Kota Prabumulih, Iwan Nusmareri ST.
Sosok yang banyak membina komunitas pengelola sampah di Kota
Prabumulih ini juga mengharapkan inovasi lanjutan dari produksi mokusaku.
“Selain menghasilkan cairan mokusaku, perlu juga ditingkatkan dengan produk
hilir dari mokusaku dan hilirisasi arang atau bahan padatan sisa produksi
mokusaku dijadikan bahan bakar biomassa yang bernilai ekonomis.”
Kepala Dinas Perkim Kota Prabumulih, Maiduty Fitriansyah,
ST, MT mengapresiasi terobosan yang dilakukan INAgri dan PrabumaGGot dalam
membantu mengatasi sampah kota Prabumulih. Menurutnya, prabumaGGot selama telah
menunjukkan konsistensi dalam mengatasi sampah organik dengan budidaya maggot
BSF.
“Olah sampah perlu disesuaikan dengan kemampuan. Biarpun
modal kurang, asalkan ada niat untuk terus berinovasi, pengolahan sampah akan
dapat terus berjalan. Mokusaku ini buktinya,” ungkap Maiduty.
Senior pecinta alam Sumsel yang saat ini memimpin garda
terdepan penanganan sampah kota Prabumulih juga mengaku terkesan dengan
teknologi sederhana yang digunakan oleh PrabumaGGot dan INAgri.
Hanya tungku pembakaran yang dipadukan dengan penyulingan
untuk mengolah sampah berupa kayu atau berbahan keras lainnya menjadi bahan
bakar biomassa dan asap cair yang banyak gunanya. “Teknologinya murah,
sederhana, dan mudah ditiru siapa pun. Yang mahal dan canggih ada pada niat dan
pola pikir serta konsistensi,” pungkas Maiduty.
Triyatno Soleh, penggiat Komunitas PrabumaGGot Indonesia,
mengaku tertantang berbuat lebih banyak untuk mengatasi sampah di Prabumulih. Komunitas
ini memang dibentuk untuk tiga tujuan. Pertama, membantu pemerintah mengatasi
sampah. Kedua, membantu masyarakat terutama petani dan peternak dalam hal
produksi pakan dan pupuk murah berkualitas, maupun sarana produksi yang aman
bagi lingkungan. Ketiga, menggerakkan ekonomi sirkular.
Saat ini komunitas pengelola sampah yang didirikan di
Prabumulih ini memprioritaskan sampah organik. Sampah sisa makanan dimanfaatkan
untuk budidaya maggot BSF. Sampah organik yang bukan sisa makanan atau tak bisa
dijadikan pakan maggot BSF dijadikan kompos.
Saat ini selain mulai merambah pengolahan sampah anorganik
(terutama plastik) bersama INAgri, PrabumGGot mulai mengolah sampah biomassa
kayu dan ranting maupun bahan organik keras lain untuk dijadikan mokusaku dan
arang.
“Pada intinya, semua yang dianggap orang lain sebagai
sampah, masih bisa diolah dan dimanfaatkan. Ado gunonyo galo!” kata Yatno.
“Memang saat ini kami masih mengolah dalam skala terbatas.”
Meski demikian, pria yang juga aktif di gerakan pemuda dan
organisasi sosial keagamaan ini juga memiliki harapan. “Ke depan kami akan
menggalang kerjasama dengan banyak pihak, terutama dari kelompok masyarakat
lain, supaya dapat bersama-sama membangun Kota Prabumulih dari sektor ekonomi
sirkular berbasis pengolahan sampah.”