BERITA INDEX BERITA
17 Tahun Menyaksikan Perjuangan Orang Knasaimos Menjaga Hutan Adat Papua
Amos Sumbung
Juru Kampanye Hutan Papua Greenpeace Indonesia
LIBUR semester pada awal Agustus 2007 menjadi momen saya
pertama kali menapaki tanah adat suku Tehit-Knasaimos di Kampung Mlaswat,
Distrik Saifi, Sorong Selatan. Saat itu, saya masih berstatus mahasiswa di
Universitas Papua Manokwari, sekaligus relawan Greenpeace Indonesia.
Saya menginjakkan kaki di tanah suku Tehit-Knasaimos
lantaran ajakan Belantara Papua. Ini lembaga masyarakat sipil yang menjadi
rekan Greenpeace dalam awal kerja-kerja pendampingan dan advokasi masyarakat
adat di Sorong Selatan.
Tanpa berpikir panjang, saya langsung mengiyakan. Kapan lagi
saya bisa menjelajah ke wilayah Sorong Selatan? Kelak jika selesai kuliah dan
bekerja, belum tentu saya bisa mendapatkan kesempatan itu.
Saya ingat betul bagaimana kondisi jalan dari Kota Sorong
menuju Sorong Selatan kala itu. Sebagian besar permukaan jalan masih berupa
tanah liat dan berbatu, sehingga untuk melewatinya harus dengan kendaraan
dengan dua poros roda (double gardan).
Ada sejumlah kegiatan di Kampung Mlaswat, yang ujungnya
ialah sebuah deklarasi menolak investasi sawit yang saat itu gencar-gencarnya
melobi agar bisa beroperasi di wilayah adat Tehit-Knasaimos. Sejak saat itu,
saya melihat kegigihan warga Knasaimos berjuang mempertahankan wilayah adat
mereka dari berbagai ancaman, hingga hari ini.
Para orang tua bercerita tentang kasus pembalakan ilegal
yang bahkan menyeret beberapa dari mereka untuk berurusan dengan hukum. Sebab,
menurut cerita yang saya dengar, sebagian orang terpedaya oleh cukong kayu
hingga menebang ribuan pohon kayu merbau.
Masyarakat adat juga harus beradu argumen dengan pemerintah
yang hendak menjadikan wilayah adat mereka salah satu tujuan transmigran. Bukan
cuma khawatir akan terpinggirkan, mereka juga waswas program transmigrasi
tersebut malah memicu kerusakan hutan. Dalam cerita perlawanan itu, ada kisah
masyarakat adat ‘memarahi’ bupati karena memberikan izin untuk perusahaan
sawit.
Kunjungan saya ke tanah orang Knasaimos saat itu ternyata
bukanlah perjalanan pertama dan terakhir. Saya berkesempatan kembali ke sana
lagi tahun 2011. Bukan lagi sebagai relawan, tapi pekerja kontrak di Greenpeace
Indonesia. Saya bertugas membersamai masyarakat untuk mengelola hutan hingga
memetakan wilayah adat mereka.
Sejak saat itu, Sorong Selatan bak menjadi rumah kedua saya.
Kerja-kerja di Sorong Selatan meliputi upaya mencari solusi pengelolaan hutan
yang berkelanjutan, hingga mendorong pemerintah daerah agar mengakui keberadaan
masyarakat Knasaimos secara hukum. Pengakuan ini penting, agar hak-hak mereka
dilindungi pula oleh negara.
Buah Manis Perjuangan Knasaimos
Hampir 17 tahun kemudian, sehari setelah Hari Lingkungan
Hidup Sedunia, perjuangan masyarakat adat Knasaimos berbuah manis. Pada 6 Juni
2024, masyarakat adat Knasaimos mendapat pengakuan atas wilayah adat mereka
melalui surat keputusan Bupati Sorong Selatan.
Pengakuan ini mencakup wilayah seluas 97 ribu hektare yang
membentang di dua distrik, yakni Distrik Saifi dan Seremuk. Luas wilayah ini
melebihi luas Provinsi DKI Jakarta. Dengan SK ini seharusnya tidak ada lagi
izin-izin pengelolaan kawasan, pemanfaatan hutan, dan izin lain dalam wilayah
adat Knasaimos tanpa sepengetahuan bahkan seizin masyarakat adat Knasaimos.
Keberhasilan masyarakat Knasaimos yang berada di dua wilayah
distrik ini tentu saja merupakan buah dari kesabaran dan kerja keras para
warga. Beberapa yang semangatnya tidak pernah redup dalam berjuang adalah
pengurus DPMA Knasaimos: Bapak Fredrik Sagisolo, Bapak Simson Sremere, Bapak
Arkilaus Kladit, Bapak Yoel Sremere, Bapak Soleman Woloin, serta banyak lagi
orang-orang yang pertama kali saya jumpai di awal menginjakkan kaki di tanah
Knasaimos.
Beberapa orang lainnya bahkan sudah berpulang ke Sang
Pencipta, seperti Bapak Hosea Kladit, Bapak Aser Kladit, Bapak Guru Yulius
Momot, dan beberapa lagi. Mereka adalah sosok yang selalu ada dan sigap dalam
kegiatan apa pun demi penyelamatan wilayah adat Knasaimos.
Knasaimos adalah satu dari beberapa wilayah adat di Papua
yang kini mendapatkan pengakuan dari pemerintah setempat. Meski demikian, masih
banyak masyarakat adat di Tanah Papua dan bahkan Tanah Air, yang harus
berjibaku mempertahankan wilayah adat mereka. Ada juga yang tanah dan hutan
adatnya terampas karena pemerintah melego izin-izin untuk korporasi.
Keberadaan masyarakat adat pun belum mendapat tempat yang
layak dalam negara kita. Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat, yang sudah
diusulkan sejak 2009, tak kunjung dibahas dan disahkan. Lantaran pemerintah
absen, pelindungan masyarakat adat kini bertumpu pada political will pemerintah
lokal, seperti yang terjadi di Knasaimos ini.
Semoga saja perjuangan masyarakat adat Knasaimos menyentil
pemerintah yang selama ini absen melindungi hak-hak masyarakat adat. Semoga
akan banyak lagi wilayah adat yang diakui serta dilindungi keberadaannya oleh
negara. Yang terpenting, semoga masyarakat adat bisa mengelola potensi dari
wilayah adat mereka berdasarkan kearifan lokal, yang sudah terbukti mampu
menjaga kelestarian alam Papua.