BERITA INDEX BERITA
Sorgum Jadi Pilihan Ketahanan Pangan Lokal di Flores
Sorgum dibudidayakan di dusun Likotuden Flores Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur (Foto: shutterstock)
KETAHANAN
pangan di Indonesia masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan negara
lain, meskipun telah terjadi eskalasi sejak tahun 2021. Harga pangan yang
tinggi, terutama gandum dan beras impor, sebagai dampak dari perubahan iklim
menjadi pemicu rendahnya ketahanan pangan. Banyak konsumen juga belum memahami
akses untuk mendapatkan makanan bergizi selain gandum dan beras.
Pusat Riset
Tanaman Pangan Badan Riset dan Inovasi Nasional (PRTP-BRIN), Senin
(02/04/2024), mengekspos komoditas sorgum untuk mengatasi rentannya ketahanan
pangan di Indonesia. Kegiatan daring ini dikemas dengan tema “Pengembangan
Produk Berbasis Sorgum Mendukung Diversifikasi Pangan Dan Pengembangan Sorgum
Berbasis Masyarakat Di Wilayah Flores.”
Direktur
Program Yayasan KEHATI, Rony Megawanto menjadi salah satu pembicara dalam acara
tersebut. Selain itu ada Peneliti Ahli Utama, Pusat Riset Tanaman Pangan-ORPP
BRIN, Prof, Dr, Suarni, M.Si.
Suarni
mengatakan, tujuan pemerintah mengembangkan sorgum adalah sebagai pengganti
kebutuhan gandum. Tanaman sorgum tidak memerlukan lahan subur sehingga bisa
tumbuh di lahan yang kritis. “Bahan pangan sorgum tervalidasi sebagai
produk gluten free dan banyak diburu oleh para penderita
alergi gluten golongan anak-anak usia tumbuh,” kata Suarni.
Kelebihan
lainnya, kata Suarni, sorgum itu kaya akan protein,vitamin, zat besi, dan anti
oksidan. Dengan kandungan yang sangat bermanfaat ini sorgum dinilai tidak hanya
berfungsi sebagai diversifikasi pangan, namun juga mengarah pada produk pangan
fungsional.
Karakter
fisik biji sorgum dinilai mendukung program diversifikasi pangan ini, karena
teksturnya yang keras sehingga mudah melalui proses penyosohan. Komponen
fungsionalnya yaitu mineral juga cukup tinggi. Namun memang kandungan tanin
dalam biji sorgum masih sedikit menuai kontroversi.
Apabila
kadar taninnya tinggi maka akan berpengaruh pada rasa olahan yaitu
sepat. Tanin juga bersifat anti nutrisi sehingga menghambat
penyerapan komponen gizi lain di dalam tubuh. Sehingga harapannya kadar tanin pada
sorgum relatif rendah dengan tetap memiliki aktivitas anti oksidan.
Pemanfaatan
sorgum masih sedikit lebih rendah dibandingkan komoditi jagung. Jagung memang
lebih unggul karena di usia muda sudah bisa diolah menjadi olahan pangan. Namun
belakangan ini, semakin banyak produk olahan sorgum yang telah dipasarkan oleh
pengusaha makanan sehingga menarik minat mahasiswa untuk meneliti sorgum
sebagai bahan penelitian untuk tugas akhir.
Biaya Rendah
Direktur
Program Yayasan KEHATI, Rony Megawanto, penanaman sorgum digiatkan kembali
karena karena biaya budidaya yang relatif rendah. Selain mampu tumbuh di area
tandus, tanaman sorgum tidak membutuhkan banyak input tambahan seperti pupuk
dan pestisida kimia yang membutuhkan biaya besar. Oleh karena itu sebenarnya
bahan pangan ini termasuk kategori produk organik.
Keuntungan
lainnya adalah panen bisa dilakukan dua hingga tiga kali dalam satu kali tanam.
Sorgum membawa misi ekonomi sirkular karena tidak menyumbang limbah dengan
pemanfaatan selain sebagai makanan, juga pakan ternak dan bio etanol.
Tanaman
yang dijuluki super food ini mengandung makna budaya yang mengakar bagi
masyarakat Flores yang memang makanan pokok leluhur mereka. “Kalau beras yang
dipaksakan menjadi makanan pokok, masyarakat Flores akan kesulitan karena padi
sangat sulit ditanam. Ini yang menjadi alasan kami mengapa sorgum kita
revitalisasi kembali di Flores,” lanjut Rony.
Dari sisi
budaya, seperti banyak daerah dengan mitologi terkait pangan lokal. Begitu juga
di Flores ada mitologi yg disebut tonu wujo. Mirip mitos Dewi Sri
di Jawa, dari tubuh tonu wujo ini lahir tanaman padi, jagung,
jewawut, mentimun, dan sorgum. Mitos ini menyiratkan bahwa bahan pangan harus
beragam.
Yayasan
KEHATI melakukan program intervensi ini dengan bekerjasama dengan banyak stake
holder di Flores terutama Keuskupan dan LSM. Selain itu berkolaborasi juga
dengan Yaspensel, Ayo Indonesia, Ayu tani dan lain sebagainya. Ada juga
kerjasama dengan Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) di Pulau Jawa
yang membantu menyusun kebijakan.
Konsumsi Lokal
Mitra lokal
bersama para stakeholder dan Yayasan KEHATI telah melakukan aksi penanaman
sorgum ini sejak tahun 2014. Wilayah Likotuden di Flores Timur merupakan area
pengembangan program yang paling maju. Di desa wisata yang disebut kampung
sorgum ini dapat ditemukan kawasan budidaya sekaligus pusat pengolahan. Pada
tahap awal memang proses pengembangan masih dikaitkan dengan konservasi alam.
Hingga pada
2018-2020 mulailah pengolahan beragam produk terutama untuk mengatasi stunting,
karena di flores kasus tersebut paling tinggi. Pada masa sekarang telah pada
tahap inisiasi melalui paduan konsep eko wisata dengan agribisnis. Eko wisata
dipilih karena banyak orang yang datang ke untuk melihat perkebunan sorgum,
sekaligus menikmati pemandangan perbukitan yang langsung berbatasan dengan
laut.
Kerjasama
Yayasan KEHATI dengan para mitra tersebut tetap mendukung budidaya sorgum di
wilayah barat yaitu daerah Manggarai, sekaligus mempertahankan adat budaya
mereka. Karena padi dapat tumbuh dengan baik, upaya ini lebih menekankan pada
penganekaragaman pangan lokal.
Kaum
perempuan di Flores sangat antusias dan berperan serta dalam program sorgum,
mulai dari budidaya, pasca panen, olahan, konsumsi, dan pemasaran. Para petani
adalah fokus utama dari program pengembangan sorgum di Flores karena mereka
merupakan ujung tombak keberhasilan program tersebut. Banyak kegiatan-kegiatan
yang ditujukan untuk penguatan kapasitas terkait budidaya dan pasca panen.
Hal lain
yang tidak kalah penting adalah memberikan pelatihan dan peningkatan kapasitas
terkait produk olahan sorgum. Untuk itu, selalu diadakan kegiatan pelatihan
kelembagaan budidaya sorgum atau komoditas lainnya dan juga pelatihan manajemen
keuangan. Pada awalnya kelembagaan yang ada dibentuk sebagai Usaha Bersama
(UB), yang sekarang mulai dipersiapkan untuk menjadi koperasi sorgum.
Utamanya
konsumsi sorgum harus mulai diperkenalkan kepada masyarakat, terutama balita
melalui kampanye konsumsi sorgum. Sehingga kegiatan pengembangan sorgum tidak
hanya persoalan penjualan, tetapi juga dikonsumsi oleh masyarakat lokal. (Tim
KEHATI)