BERITA INDEX BERITA
Babak Baru Perjuangan untuk Merdeka dari Asap: 12 Warga Sumsel Gugat Tiga Korporasi
PALEMBANG — 12 warga Sumatera Selatan (Sumsel) mendaftarkan
gugatan ke Pengadilan Negeri (PN) Palembang atas kasus kabut asap yang diduga
dilakukan oleh tiga perusahaan, yakni adalah PT Bumi Mekar Hijau (BMH), PT Bumi
Andalas Permai (BAP), dan PT Sebangun Bumi Andalas Wood Industries (SBA Wood
Industries).
Didukung gabungan koalisi masyarakat sipil dan organisasi
lingkungan bernama Inisiasi Sumatera Selatan Penggugat Asap (ISSPA), 12 warga
tersebut ingin menuntut ganti rugi atas tercerabutnya hak atas lingkungan hidup
yang baik dan sehat dan pemulihan lingkungan atas terjadinya kabut asap akibat
kebakaran hutan dan lahan (karhutla), yang telah merugikan mereka baik secara
materiil maupun immateriil.
Para penggugat adalah warga yang bermukim atau berasal dari
beberapa daerah, yakni dari Desa Bangsal, Kecamatan Pampangan, Ogan Komering
Ilir (OKI); Desa Lebung Itam, Kecamatan Tulung Selapan, OKI; dan Kota
Palembang. Latar belakang mereka beragam, mulai dari petani, penyadap karet,
nelayan, peternak kerbau rawa, ibu rumah tangga, pekerja lepas, hingga pegiat
lingkungan.
“Bertahun-tahun saya menjadi korban kabut asap akibat
kebakaran hutan dan lahan, dan tahun lalu rumah walet saya bahkan ikut
terbakar. Kami datang hari ini untuk menggugat tiga perusahaan yang kami anggap
membawa dampak kabut asap yang kami rasakan hampir setiap kemarau. Lewat
gugatan ini, kami ingin memberi peringatan bahwa apa yang perusahaan lakukan
itu salah karena telah merusak lingkungan dan ruang kehidupan kami, serta
menimbulkan kabut asap,” kata Pralensa, salah satu penggugat dari Desa Lebung Itam.
Para tergugat jelas telah mengakibatkan asap yang berdampak
buruk bagi kesehatan ekosistem dan manusia, baik fisik maupun mental. Beberapa
dampak dan kerugian dirasakan para penggugat, salah satunya dada sesak dan
pernapasan terganggu karena infeksi saluran pernapasan akut (ISPA).
Pekerjaan yang biasa dimulai pagi hari seperti menggarap
sawah, menyadap karet, mencari ikan, atau bertukang, menjadi sangat terganggu.
Para penggugat juga merugi karena biaya menanam karet dan memelihara ternak
meningkat, sedangkan produktivitasnya berkurang. Kegiatan seperti kuliah,
ibadah, dan kehidupan sosial lainnya terganggu hingga acapkali memicu rasa
cemas dan tertekan.
“Saat terjadi kabut asap, saya merasa tertekan karena
khawatir dengan kesehatan anak dan diri sendiri. Cuaca panas karena kabut asap
membuat suhu tubuh kami meningkat, badan gatal-gatal, juga batuk-batuk. Ekonomi
keluarga terganggu karena asap menghalangi kami untuk menyadap karet atau
menangkap ikan. Saya memutuskan menjadi salah satu penggugat dengan harapan
perusahaan dan pemerintah lebih memikirkan lingkungan hidup,” kata Marda
Ellius, penggugat lainnya.
Ipan Widodo dari LBH Palembang selaku kuasa hukum, sekaligus
Ketua Persatuan Advokat Dampak Krisis Ekologi (PADEK) yang mengawal kasus ini
menuturkan, selama ini masyarakat Sumatera Selatan sudah lama diam menghadapi
dampak buruk asap hasil kebakaran hutan dan lahan gambut.
“Ini pertama kalinya masyarakat menuntut pertanggungjawaban
mutlak atau strict liability dari badan hukum atas kerugian akibat pencemaran
atau perusakan lingkungan yang diperbuat badan hukum tersebut. Perjuangan ini
akan jadi babak baru dalam perkembangan hukum lingkungan di Indonesia dan gaya
baru perjuangan rakyat melawan krisis iklim,” ujarnya.
Karhutla yang terjadi di wilayah izin para tergugat telah
berkontribusi signifikan memicu kabut asap di Palembang pada 2015, 2019, dan
2023. Luas areal terbakar dalam konsesi para tergugat pada 2015-2020 seluas
254.787 hektare—setara hampir empat kali luas DKI Jakarta. Ketiga perusahaan
ini pun pernah dikenai sanksi hingga denda akibat karhutla berulang. Namun
hingga tahun lalu, konsesi ketiganya ternyata masih terus terbakar.
“Konsesi PT BMH, PT BAP, dan PT SBA Wood Industries berada
pada lanskap gambut, yang sebenarnya punya peran penting menyimpan karbon.
Rusaknya gambut di lanskap tersebut, yang lantas memicu karhutla dan kabut asap
terus-menerus, tentu sangat memperburuk krisis iklim. Peningkatan emisi karbon
akibat karhutla dan kabut asap juga berkontribusi menghambat upaya penurunan
emisi, bahkan membuat gagalnya pencapaian target iklim oleh pemerintah
Indonesia,” kata Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Belgis Habiba.
“Selain memicu konflik agraria berkepanjangan, ternyata
ketiga perusahaan tersebut juga menimbulkan dampak ekologis yang begitu merusak
dan mengganggu kehidupan masyarakat Sumatera Selatan. Ini saatnya masyarakat
melawan dengan terhormat untuk menunjukkan bahwa mereka punya kedaulatan atas
ruang hidupnya,” tegas Koordinator KPA Wilayah Sumatera Selatan, Untung
Saputra, yang juga sekaligus perwakilan koalisi ISPA.