BERITA INDEX BERITA

Adaro Energy Indonesia Obligasi Terkotor Sedunia

Lingkungan | DiLihat : 219 | Jumat, 17 Mei 2024 | 05:35
Adaro Energy Indonesia Obligasi Terkotor Sedunia

JAKARTA - Belum lama ini, analisis Dirty 30 oleh Toxic Bond Initiative menempatkan Adaro Energy Indonesia sebagai salah satu penerbit obligasi terkotor sedunia, bersama jajaran perusahaan bahan bakar fosil raksasa lainnya, seperti Exxon dan Shell. Adaro memiliki obligasi sebesar US$750 juta yang akan jatuh tempo di bulan Oktober tahun ini.

Koalisi organisasi masyarakat sipil yang terdiri dari Enter Nusantara, Greenpeace Indonesia, dan Market Forces menyatakan bahwa Adaro pantas mendapatkan penganugerahan tersebut, terutama karena Adaro memiliki banyak jejak kerusakan lingkungan dan menyisakan konflik masyarakat.

“Terlalu banyak cerita tentang kerusakan yang disebabkan oleh Adaro, seperti penggusuran seluruh masyarakat Desa Wonorejo di Kalimantan Selatan dan di Batang, Jawa Tengah, serta mata pencaharian nelayan yang terancam hilang akibat rencana ekspansi Adaro di Kalimantan Utara,” ucap Bondan Andriyanu, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia.

Penelitian oleh Carbon Major Database menunjukkan bahwa Adaro menjadi salah satu perusahaan yang bertanggung jawab atas 80% emisi karbon sejak Perjanjian Paris ditandatangani, di antara tahun 2016-2022. “Sudah tidak bisa dipungkiri, Adaro berdosa dalam mendorong dan memperparah krisis iklim,” tambah Bondan.

Meskipun Adaro sudah mengeluarkan pernyataan net zero di tahun 2060, rencana tersebut tidak membatasi batu-bara termal maupun metalurgi. Berdasarkan skenario International Energy Agency untuk meminimalisir dampak malapetaka krisis iklim, dunia harus berhenti membangun PLTU batu-bara baru dan ekspansi tambang batu-bara di tahun 2023 dan segera mengimplementasi net zero di tahun 2050.  

“Faktanya, Adaro malah mengakselerasi pembangunan PLTU batu-bara baru yang kotor dan ekspansi bisnis metalurgi batu-bara, mengabaikan kekhawatiran ilmuwan iklim, bahkan investor mereka sendiri,” sebut Nabilla Gunawan, Juru Kampanye Energi dan Keuangan dari Market Forces.

Sejak tahun 2022, Adaro telah ditinggalkan perbankan multinasional seperti Standard Chartered dan DBS karena banyak perbankan mengadopsi kebijakan coal exit. Belum lama ini, Hyundai juga telah memutuskan perjanjian pembelian aluminium dengan anak usaha Adaro. Smelter aluminium tersebut akan diproduksi oleh PLTU batu-bara sebesar 1.1 GW di Kalimantan Utara.

“Dunia telah meninggalkan batu-bara, namun Adaro tetap keras kepala dan masih tidak memiliki rencana transisi kredibel yang sejalan skenario net zero 2050, skenario yang bertujuan untuk mencegah malapetaka masa depan karena krisis iklim,” tambah Nabilla.

Menurut proyeksi kerentanan (“vulnerability score”) iklim oleh Fitch, setelah tahun 2025, kerentanan sektor batu-bara termal dan metalurgi akan mencuat dengan tajam. Di tahun 2050, satu atau lebih faktor terkait iklim dapat mengancam eksistensi bisnis batu-bara termal dan metalurgi. Lebih dari 90% pendapatan Adaro

“Batu-bara merupakan sektor yang saat ini cukup rentan, dan akan bertambah rentan. Hyundai dan investor Adaro paham akan hal itu, sedangkan Adaro keras kepala dan menolak untuk paham,” ujar Ramadhan, Koordinator Aksi Energi Terbarukan, Enter Nusantara.

Ramadhan menambahkan bahwa koalisi masyarakat sipil di bidang energi bersih telah mengirim surat bersama resmi ke sekretaris korporat sejak bulan Februari, akan tetapi hingga saat ini Adaro masih belum memberikan tanggapan apapun.

“Adaro memilih untuk mengabaikan kekhawatiran dan nasib masa depan orang muda demi keuntungan belaka. Adaro mengkhianati kita semua dengan mewarisi lingkungan Indonesia yang telah hancur di masa depan nanti,” tutup Ramadhan.

 

Koalisi Masyarakat Sipil Desak Adaro untuk Hentikan Ekspansi Batu Bara

Sementara itu, sejumlah aktivis mengenakan topeng berlogo bank-bank internasional, beraksi di depan Raffles Hotel, tempat rapat umum pemegang saham Adaro dilaksanakan.

Diketahui bank-bank tersebut seperti BNP Paribas, OCBC, DBS, dan Standard Chartered akhirnya memutuskan hubungan dengan Adaro karena bisnis Adaro yang masih didominasi batubara tidak sejalan dengan komitmen dan kebijakan perusahaan tersebut untuk berhenti mendukung industri kotor.

“Tujuan kami adalah ingin menyerukan kepada Adaro, jika ingin kembali mendapatkan kepercayaan dari perusahaan global, baik perbankan maupun pembeli, lakukanlah transisi keluar dari batu bara secara sungguh-sungguh, bukan hanya pencitraan hijau semata,” ujar Bondan Andriyanu, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia.

Di saat tren global beramai-ramai meninggalkan bisnis batu bara dan beralih kepada energi bersih, Adaro justru memiliki rencana untuk melakukan ekspansi tambang batu bara di Kalimantan Tengah, bahkan di Kalimantan Selatan, tambang Adaro berpotensi menggusur komunitas Dayak Pitap.

Tak hanya itu, Adaro diketahui akan membangun PLTU batu bara baru di Kalimantan Utara. Namun, hal ini diklaim sebagai citra hijau karena mendukung produksi baterai mobil listrik yang masuk ke dalam kategori industri hijau.

Adaro sekarang dipaksa menghadapi konsekuensi dari aktivitas bisnis yang merusak iklim mereka dan kebijakan diversifikasi mereka yang lemah saat ini membuat Adaro kehilangan Hyundai.

“Tanpa rencana transisi kredibel yang mencangkup pembatasan ekspansi batu-bara, Adaro harus menghadapi risiko keuangan yang meningkat dan menghadapi fakta bahwa lebih banyak investor akan meninggalkan perusahaan kotor ini,” sebut Nabilla Gunawan, Juru Kampanye Energi dan Keuangan dari Market Forces.

Nabilla menambahkan bahwa investor dan Hyundai telah mengirim sinyal kuat bahwa Adaro harus transisi keluar dari batu-bara konsisten dengan skenario net zero di tahun 2050.

 


Scroll to top