BERITA INDEX BERITA
Adaro Energy Indonesia Obligasi Terkotor Sedunia
JAKARTA - Belum lama ini, analisis Dirty 30 oleh Toxic Bond
Initiative menempatkan Adaro Energy Indonesia sebagai salah satu penerbit
obligasi terkotor sedunia, bersama jajaran perusahaan bahan bakar fosil raksasa
lainnya, seperti Exxon dan Shell. Adaro memiliki obligasi sebesar US$750 juta
yang akan jatuh tempo di bulan Oktober tahun ini.
Koalisi organisasi masyarakat sipil yang terdiri dari Enter
Nusantara, Greenpeace Indonesia, dan Market Forces menyatakan bahwa Adaro
pantas mendapatkan penganugerahan tersebut, terutama karena Adaro memiliki
banyak jejak kerusakan lingkungan dan menyisakan konflik masyarakat.
“Terlalu banyak cerita tentang kerusakan yang disebabkan
oleh Adaro, seperti penggusuran seluruh masyarakat Desa Wonorejo di Kalimantan
Selatan dan di Batang, Jawa Tengah, serta mata pencaharian nelayan yang
terancam hilang akibat rencana ekspansi Adaro di Kalimantan Utara,” ucap Bondan
Andriyanu, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia.
Penelitian oleh Carbon Major Database menunjukkan bahwa
Adaro menjadi salah satu perusahaan yang bertanggung jawab atas 80% emisi
karbon sejak Perjanjian Paris ditandatangani, di antara tahun 2016-2022. “Sudah
tidak bisa dipungkiri, Adaro berdosa dalam mendorong dan memperparah krisis
iklim,” tambah Bondan.
Meskipun Adaro sudah mengeluarkan pernyataan net zero di
tahun 2060, rencana tersebut tidak membatasi batu-bara termal maupun metalurgi.
Berdasarkan skenario International Energy Agency untuk meminimalisir dampak
malapetaka krisis iklim, dunia harus berhenti membangun PLTU batu-bara baru dan
ekspansi tambang batu-bara di tahun 2023 dan segera mengimplementasi net zero
di tahun 2050.
“Faktanya, Adaro malah mengakselerasi pembangunan PLTU
batu-bara baru yang kotor dan ekspansi bisnis metalurgi batu-bara, mengabaikan
kekhawatiran ilmuwan iklim, bahkan investor mereka sendiri,” sebut Nabilla
Gunawan, Juru Kampanye Energi dan Keuangan dari Market Forces.
Sejak tahun 2022, Adaro telah ditinggalkan perbankan
multinasional seperti Standard Chartered dan DBS karena banyak perbankan
mengadopsi kebijakan coal exit. Belum lama ini, Hyundai juga telah memutuskan
perjanjian pembelian aluminium dengan anak usaha Adaro. Smelter aluminium
tersebut akan diproduksi oleh PLTU batu-bara sebesar 1.1 GW di Kalimantan
Utara.
“Dunia telah meninggalkan batu-bara, namun Adaro tetap keras
kepala dan masih tidak memiliki rencana transisi kredibel yang sejalan skenario
net zero 2050, skenario yang bertujuan untuk mencegah malapetaka masa depan
karena krisis iklim,” tambah Nabilla.
Menurut proyeksi kerentanan (“vulnerability score”) iklim
oleh Fitch, setelah tahun 2025, kerentanan sektor batu-bara termal dan
metalurgi akan mencuat dengan tajam. Di tahun 2050, satu atau lebih faktor
terkait iklim dapat mengancam eksistensi bisnis batu-bara termal dan metalurgi.
Lebih dari 90% pendapatan Adaro
“Batu-bara merupakan sektor yang saat ini cukup rentan, dan
akan bertambah rentan. Hyundai dan investor Adaro paham akan hal itu, sedangkan
Adaro keras kepala dan menolak untuk paham,” ujar Ramadhan, Koordinator Aksi
Energi Terbarukan, Enter Nusantara.
Ramadhan menambahkan bahwa koalisi masyarakat sipil di
bidang energi bersih telah mengirim surat bersama resmi ke sekretaris korporat
sejak bulan Februari, akan tetapi hingga saat ini Adaro masih belum memberikan
tanggapan apapun.
“Adaro memilih untuk mengabaikan kekhawatiran dan nasib masa
depan orang muda demi keuntungan belaka. Adaro mengkhianati kita semua dengan
mewarisi lingkungan Indonesia yang telah hancur di masa depan nanti,” tutup
Ramadhan.
Koalisi Masyarakat Sipil Desak Adaro untuk Hentikan Ekspansi
Batu Bara
Sementara itu, sejumlah aktivis mengenakan topeng berlogo
bank-bank internasional, beraksi di depan Raffles Hotel, tempat rapat umum
pemegang saham Adaro dilaksanakan.
Diketahui bank-bank tersebut seperti BNP Paribas, OCBC, DBS,
dan Standard Chartered akhirnya memutuskan hubungan dengan Adaro karena bisnis
Adaro yang masih didominasi batubara tidak sejalan dengan komitmen dan
kebijakan perusahaan tersebut untuk berhenti mendukung industri kotor.
“Tujuan kami adalah ingin menyerukan kepada Adaro, jika
ingin kembali mendapatkan kepercayaan dari perusahaan global, baik perbankan
maupun pembeli, lakukanlah transisi keluar dari batu bara secara
sungguh-sungguh, bukan hanya pencitraan hijau semata,” ujar Bondan Andriyanu,
Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia.
Di saat tren global beramai-ramai meninggalkan bisnis batu
bara dan beralih kepada energi bersih, Adaro justru memiliki rencana untuk
melakukan ekspansi tambang batu bara di Kalimantan Tengah, bahkan di Kalimantan
Selatan, tambang Adaro berpotensi menggusur komunitas Dayak Pitap.
Tak hanya itu, Adaro diketahui akan membangun PLTU batu bara
baru di Kalimantan Utara. Namun, hal ini diklaim sebagai citra hijau karena
mendukung produksi baterai mobil listrik yang masuk ke dalam kategori industri
hijau.
Adaro sekarang dipaksa menghadapi konsekuensi dari aktivitas
bisnis yang merusak iklim mereka dan kebijakan diversifikasi mereka yang lemah
saat ini membuat Adaro kehilangan Hyundai.
“Tanpa rencana transisi kredibel yang mencangkup pembatasan
ekspansi batu-bara, Adaro harus menghadapi risiko keuangan yang meningkat dan
menghadapi fakta bahwa lebih banyak investor akan meninggalkan perusahaan kotor
ini,” sebut Nabilla Gunawan, Juru Kampanye Energi dan Keuangan dari Market
Forces.
Nabilla menambahkan bahwa investor dan Hyundai telah
mengirim sinyal kuat bahwa Adaro harus transisi keluar dari batu-bara konsisten
dengan skenario net zero di tahun 2050.