BERITA INDEX BERITA
Kebijakan Subsidi Gas Bumi ke 7 Sektor Industri Tertentu Bikin Pemerintah Tekor Puluhan Triliun Rupiah

JAKARTA - Pemerintah diminta untuk lebih berhati-hati dalam
memutuskan kebijakan subsidi gas bumi ke sejumlah industri tertentu. Selain
dampak yang ditimbulkan dari kebijakan ini belum jelas, pemerintah juga tekor
besar akibat kehilangan pendapatan di hulu migas hingga puluhan triliun rupiah
guna memberikan subsidi harga kepada 7 sektor industri tertentu tersebut.
Founder & Advisor Reforminer Institute, Lembaga Riset
Pertambangan dan Ekonomi Energi, Pri Agung, mengatakan dampak yang diharapkan
dari kebijakan harga gas tertentu belum jelas. Terutama dari aspek peningkatan
pajak dan multiplier efek dari perusahaan-perusahaan penerima gas subsidi
tersebut.
“Sangat perlu untuk dievaluasi dari aspek biaya dan
manfaatnya terhadap kebijakan yang sudah berjalan. Yang jelas kebijakan ini
membuat penerimaan negara berkurang,” jelas Pri Agung.
Evaluasi terhadap kebijakan harga gas bumi tertentu alias
HGBT juga dinilai tidak akan berdampak terhadap daya saing industri dalam
negeri. Selain komponen gas bumi untuk beberapa industri kontribusinya rendah,
daya saing sebuah industri dipengaruhi oleh banyak aspek.
“Ada banyak faktor yang memengaruhi daya saing sebuah
industri. Seperti permintaan pasar,
sumber daya, strategi industri dan juga keterkaitannya dengan industri
pendukung dalam mata rantai industri tersebut. Harga gas hanya salah satu aspek
dari sumberdaya, khususnya aspek biaya,” imbuh Pri Agung.
Berdasarkan data pemerintah pada tahun 2022, komponen biaya
gas dalam biaya produksi bervariasi. Paling tinggi adalah industri pupuk dimana
komponen biaya gas mencapai 58,48%, kemudian kaca 24,84%, keramik 17,87%,
oleochemical 8,96% dan petrokimia sekitar 7,72%. Adapun kontribusi biaya gas di
industri baja sekitar 7,26% dan yang paling rendah industri sarung tangan
sebesar 5,90%.
Sejak digulirkan pada bulan April 2020, kebijakan HGBT terus
menimbulkan pro dan kontra. Salah satu faktor pemicunya adalah dampak yang
ditimbulkan oleh kebijakan ini tidak pernah terungkap. Sementara kementerian
ESDM sebagai lembaga yang menerbitkan kebijakan ini mengungkapkan bahwa subsidi
HGBT telah menghilangkan pendapatan negara hingga sekitar Rp 30 triliun.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Ditjen Migas,
Kementerian ESDM, Tutuka Ariadji mengatakan, kehilangan penerimaan negara
terjadi pada sektor hulu minyak dan gas bumi. Itu akibat penyesuaian harga gas
bumi setelah menghitung bagi hasil produksi migas antara bagian pemerintah
terhadap kontraktor.
"Terkait penurunan-penurunan penerimaan bagian negara
atas HGBT ini, kewajiban mereka kepada kontraktor yaitu sebesar 46,81 persen
atau Rp 16,46 triliun pada tahun 2021 dan 46,94 persen atau Rp 12,93 triliun
tahun 2022," kata Tutuka beberapa waktu lalu.
Jumlah kerugian negara tersebut diperkirakan akan membesar,
mengingkat potensi pendapatan negara yang hilang dari kebijakan ini di tahun
2023 dan 2024 belum masuk perhitungan.
Sebelumnya Pakar Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM) Eddy
Junarsin mengatakan bahwa HGBT merupakan kebijakan yang protektif atau defensif
pada masa pendemi untuk mengamankan 7 industri yang dirasa memerlukannya. Oleh
karenanya harus dievaluasi melalui penelitian, apakah kebijakan tersebut mampu
meningkatkan daya saing industri-industri yang menerima harga tersebut.
“Dampaknya hanya memproteksi atau men-defend berbagai
industri yang dituju tersebut. Apakah kebijakan tersebut meningkatkan daya
saing, ini hanya bisa dijawab dengan riset kuantitatif yang mengakomodasi
berbagai faktor lain," ujarnya.
