BERITA INDEX BERITA
Bincang Mangrove Gema Persada LH FP-UMP Ungkap Krisis Iklim Hilangkan Dua Pulau di Sumsel

PALEMBANG - Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumatera Selatan mengungkapkan, ada dua pulau di perairan Sumsel persisnya di Kabupaten Banyuasin hilang akibat perubahan iklim yang dipicu oleh kerusakan lingkungan.
Dua pulau yang hilang itu adalah Pulau Betet yang mana ketinggian tanah (elevasi) berada di angka -1 Meter Diatas Permukaan Laut (MDPL) dan pulau Gundul dengan kondisi permukaan -3 MDPL. Keduanya tenggelam akibat kerusakan lingkungan.
“Hilangnya Pulau Gundul dan Pulau Betet karena naiknya permukaan air laut akibat krisis iklim yang dipicu oleh masifnya kerusakan lingkungan, sedangkan Indonesia saat ini sedang gencar-gencarnya menyuarakan FOLU Net Sink 2030,” kata Kepala Divisi Kampanye Walhi Sumsel Febrian Putra Sopah dalam Seminar ‘Mereka Yang Membicarakan Tentang Mangrove’, di Aula Gedung KH Faqih Usman Universitas Muhammadiyah Palembang (UMP), pada Sabtu (4/11/2023).
Seminar ‘Mereka Yang Membicarakan Tentang Mangrove’ yang digagas Generasi Mahasiswa Persaudaraan Alam dan Lingkungan Hidup (Gema Persada LH) Fakultas Pertanian UMP, ini mengusung tema “Rawat Mangrove Sebagai Pahlawan Mitigasi Iklim Guna Mencapai FOLU Net Sink 2030”.
Seminar yang diikuti ratusan mahasiswa ini dibuka Wakil Rektor I UMP Prof Indawan Syahri. Acara juga dihadiri Rektor UMP Abid Djazuli, Wakil Dekan Fakultas Pertanian UMP, Ketua Umum Gema Persada LH FP UMP dan jajarannya, serta para civitas akademika UMP.
Menurut Febrian, Hilangnya dua pulau akibat krisis iklim yang dipicu kerusakan alam, ini juga disebabkan lemahnya penegakan hukum sehingga semakin memicu alih fungsi hutan mangrove di kawasan Sumsel. Agar pulau-pulau kecil di perairan Sumsel tidak semakin hilang perlu adanya tindakan konkret penyelamatan alam.
“Bumi kita ini sudah mendidih, yang artinya saat ini kita sudah mengalami yang namanya krisis iklim dan faktor penyebabnya ialah penegakan hukum yang lemah, ketimpangan penguasaan lahan, dan kebijakan yang tidak pro dengan kelestarian lingkungan dan masyarakat,” kata Febrian.
Selain Febrian, seminar juga menghadirkan nara sumber Heri Amalindo (tokoh masyarakat Sumsel/penggiat lingkungan), Lulu Yuningsih (Kepala Program Pendidikan Kehutanan Fakultas Pertanian UMP), dan Ahmad Zamhari (Dinas Kehutanan Sumsel).
“Mahasiswa-mahasiswa seperti inilah yang kita butuhkan, yang cinta dengan alam. Karena jika kita menjaga alam, alam akan melindungi kita. Sekarang lingkungan alam kita sudah tergerus, termasuk mangrove ini. Di sekitar sini dibuat pertambangan, dibuat perikanan. Tidak diharamkan, tapi regulasi atau peraturannya itu yang harus kita tegaskan,” tegas tokoh masyarakat/pegiat lingkungan di Sumsel, Heri Amalindo.
Sementara itu, Ketua Prodi Kehutanan FP-UMP Lulu Yuningsih menyebut hutan Mangrove di Sumsel sangat spesial, mampu menyimpan dan menyerap karbon lima kali lebih banyak dari hutan tropis daratan.
“Karbon biru adalah istilah yang digunakan untuk cadangan emisi karbon yang diserap, disimpan dan dilepaskan oleh ekosistem pesisir dan laut. Salah satu ekosistem yang termasuk dari ekosistem karbon biru ialah Mangrove, yang mampu menyimpan dan menyerap karbon lima kali lebih banyak dari hutan tropis daratan,” tandasnya.
Perencana Ahli Muda Dinas Kehutanan Provinsi Sumsel Ahmad Zamhari mengatakan, FOLU Net Sink 2030 merupakan skema aksi mitigasi mengurangi emisi gas rumah kaca dari sektor kehutanan dan tipe lahan lainnya untuk mencapai tingkat serapan karbon yang lebih tinggi dibandingkan tingkat emisi karbon dari hutan dan tipe lahan lainnya pada tahun 2030.
“Proyeksi target FOLU Net Sink 2030 adalah angka Net Sink 140 juta ton CO2e atau emisi negatif sebesar 140 juta ton CO2e. Target Aksi Mitigasi FOLU Net Sink Sumsel dalam Pengelolaan Mangrove seluas 123.091,07 Ha,” pungkasnya.
