BERITA INDEX BERITA
Mencumbu Surga-surga Kecil Tersembunyi di Jantung Borneo
SETENGAH berlari meniti 300 lebih anak tangga menuju puncak bukit di
tengah Sentarum, rasa lelah yang tadinya menyiksa terbayar tunai dengan
hamparan indah bentangan alam memanjakan mata. Semburat jingga sang “mata
dewa”, gugusan pulau pulau kecil dan bukit yang memagari danau, tak akan
disebut berlebihan bila ini ibarat “surga kecil” yang tersembunyi di Jantung
Borneo, julukan Kabupaten Kapuas Hulu.
Sunset di Bukit Tekenang salah satu bukit yang menjulang di tengah Danau
Sentarum tadi, memang wajib untuk dicumbu. Tak hanya itu, alam Kapuas Hulu yang
berada persis di batas negeri (berbatasan dengan Serawak, Malaysia) juga
menyimpan banyak “surga kecil” lain. Bahkan, gelombang air menampar-nampar
menakutkan kala speedboat melaju kencang di tengah danau pun sensasinya terasa
bagai bermain di “surga kecil”.
Danau Sentarum termasuk area Taman Nasional Danau Sentarum (TNDS) yang
pengawasan dan pengelolaannya di bawah Balai Besar Taman Nasional Betung
Kerihun dan Danau Sentarum (BBTNKBDS). Pengelolaan TNBKDS ini berdasarkan
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.7/Menlhk/Setjen/
OTL.0/1/2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Taman
Nasional.
Keunikan Danau Sentarum ini, di dalamnya ada gugusan pulau dan
kompleks-kompleks danau: 20 danau besar kecil, 89.000 ha hutan rawa ter genang,
dan 43.000 ha daratan. Di danau ini ikan arwana merah merupakan ikan endemik
dan tempat habibat anggrek hitam (black orchid), buaya sinyulong, bekantan,
beruang madu, serta persinggahan burung migran. Danau ini sebentuk hamparan
banjir yang dipengaruhi pasang surut volume air terluas di Asia Tenggara.
Diperkirakan, tersimpan 16 triliun meter kubik air per tahun di kawasan ini.
Seperti selimut mahaluas, Taman Nasional Betung Kerihun (TNBK)
membentang di Kecamatan Embaloh Hulu, Embaloh Hilir, hingga Putussibau (ibu
kota Kabupaten Kapuas Hulu). Luasnya mencapai 816.693,40 ha, meliputi hampir
28% luas daerah Kabupaten Kapuas Hulu.
Betung Kerihun merupakan kawasan perbukitan dari bentangan Pegunungan
Muller yang menghubungkan Gunung Betung dan Gunung Kerihun. Punggung gunung ini
menjadi pembatas alam antara wilayah Indonesia dan negara bagian Serawak,
Malaysia. Keanekaragaman ekosistem di kawasan TNBK sangat tinggi dan vegetasi
hutannya ma sih baik dan relatif utuh.
TNBK memiliki 1.216 jenis keanekaragaman tumbuhan yang terdiri atas 418
genus dan 110 famili (75% endemik Kalimantan). Tumbuhan baru yang ditemukan:
Castanopsis inermis, Musa lawitiensis, Neouvaria acuminatissima, Lithocarpus
philippinensis, Chisocheton cauliflorus, Syzygium spicata, dan Shorea peltata.
Selain itu, TNBK juga memiliki 48 jenis mamalia, 301 jenis burung (151
genus dan 36 famili), 170 jenis insekta, 112 jenis ikan, 52 jenis reptilia, 51
jenis amfibia, 24 jenis endemik Kalimantan, dan 15 jenis burung migran. Adapun
satwa langka yang dilindungi di sini adalah orangutan (Pongo satyrus), tangkasi
(Tarsius bancanus borneanus), owa kalimantan (Hylobates muelleri), rusa sambar
(Cervus unicolor brookei), beruang madu (Helarctos malayanus euryspilus), lutra
(Lutra sumatrana), kancil (Tragulus napu borneanus), dan klasi (Presbytis
rubicunda rubicunda).
Menurut sejumlah ahli yang melakukan penelitian di kawasan TNBK, dalam
satu hektare hutan dalam kawasan TNBK ada 300 lebih spesies tumbuhan maupun
hewan. Ini tentu sangat luar biasa dan mesti dilestarikan. Untuk itulah
partisipasi masyarakat mutlak diperlukan dalam menjaga kawasan, agar terbangun
harmonisasi antara pengelolaan kawasan (TNBKDS) dengan kearifan masyarakat yang
berada sekitar kawasan.
Sensasi Susur Sungai
Menjelajah TNBK belumlah lengkap jika tidak menyusuri sungai-sungai
dalam kawasan, salah satunya Sungai Embaloh. Di aliran sungai berarus deras ini
bisa ditemukan ikan semah, yang jika dibakar dan disantap rasa dagingnya sangat
empuk, manis, dan gurih. Di pasaran harga ikan semah sangat mahal, hampir Rp2
juta per kilogram. Wow...!
Di Sungai Tekelan (cabang Sungai Embaloh), yang bisa ditempuh 3 jam
perjalanan dengan longboat dari Sadap (kampung terakhir menuju gerbang TNBK),
pengunjung bisa menginap (camping ground) di kamp Nanga Tekelan atau kamp Langsat.
Jika perjalanan diteruskan ke hulu lagi, akan bertemu kamp Derian yang menjadi
titik start pendakian ke Gunung Betung dan menuju Gua Pajau. Masuk lagi jauh ke
dalam menjumpai air terjun Dajo dan Laboh.
Hal yang tak kalah menarik, di salah satu puncak bukit dekat DAS Tekelan
tadi, ada bekas helipad pasukan Parako (Para Komando/sekarang Kopassus), yang
dulunya dikerahkan Presiden Sukarno saat berkonfrontasi dengan Malaysia.
Makanya, tak mengherankan jika sampai saat ini banyak masyarakat di kawasan ini
kerap menemukan senjata, bahkan mortir, yang tertimbun tanah, menjadi “ranjau”
di dalam hutan hingga di dasar sungai.
Sungai lain yang juga wajib disusuri adalah Kapuas, Sibau, Mendalam, dan
Bungan. Seluruh aliran sungai menjadi jalur masuk menuju TNBK, karena per
jalanan memang harus menyusuri sungai-sungai tersebut. Salah satunya untuk
mencapai daerah Tanjung Lokang.
Jika dari Nanga Bungan, penyusuran melewati riam Bakang, riam Homatop,
riam Lapan dan riam Matahari yang memiliki grade (tingkat kesulitan arung
jeram) sampai 6. Masuk lagi jauh ke dalam kawasan, penyusuran akan menemukan
gua dan sarang burung walet serta makam leluhur masyarakat Dayak yang disebut
Tembawang.
Berbasis Kearifan Lokal
Sejauh ini terdapat 200 ha kawasan hutan konservasi di zona tradisional
yang dikelola melalui kemitraan dengan masyarakat dan penguatan kelembagaan
adat di koridor TNBK. Meski awalnya tidak tertulis, kearifan lokal selalu
terdapat dalam setiap aspek kehidupan masyarakat, dari aturan seharihari,
pergaulan sosial, adat istiadat sampai pengelolaan sumber daya alam.
Sampai saat ini pemenuhan kebutuhan kayu untuk rumah tangga dan
keperluan lain kerap menjadi salah satu alasan masyarakat Kapuas Hulu mene bang
pohon dari kawasan. Itu sulit terhindar karena keberadaan warga jauh lebih dulu
dari penetapan status taman nasional. TNBKDS, bersama Pemkab Kapuas Hulu,
membina sejumlah desa di daerah penyangga kawasan konservasi untuk menghindari
konflik serta memenuhi hak kelola warga setempat. Namun, tetap mengedepankan
konservasi.
Sejumlah program partisipasi masyarakat yang sudah dilakukan, di
antaranya, pendirian kampung wisata, organisasi pemuda dan masyarakat sadar
wisata, komunitas petani lebah madu hutan, hingga pembuatan instalasi biogas
dari limbah ternak untuk bahan bakar memasak kue ataupun kuliner khas Kapuas
Hulu, seperti dodol, kerupuk basah, kerupuk rebung dan lain-lain. Program
lainnya adalah mengorganisir masyarakat adat yang berada di sekitar kawasan
dalam mengelola dan melestarikan 20 danau adat, termasuk Danau Sentarum.
Membumikan NKRI
Isu pengelolaan kawasan perbatasan membuat TNBKDS menjadi target
kebijakan Pemerintah Indonesia untuk pembangunan sarana dan prasarana. Ada 12
desa dalam kawasan TNDS dan 2 desa di dalamTNBK, yang keseluruhan penduduknya
selama ini hidup harmonis dan secara arif menjaga kawasan.
Di 12 desa itu beberapa subetnis Dayak mendiami Danau Sentarum: Dayak
Iban dan Dayak Tamambaloh di bagian barat kawasan; Dayak Taman, Dayak Kantuí,
Dayak Kayan, Dayak Bukat di bagian tengah; dan Dayak Punan Hovongan di bagian
timur kawasan. Kelompok masyarakat adat (Dayak) ini rata-rata masih menghuni
rumah Betang (panjang), yang panjangnya lebih dari seratus meter.
Terbuat dari kayu padat berkualitas tinggi, rumah rumah panjang atau
rumah Betang dihuni puluhan keluarga dan menjadi pusat kehidupan serta
aktivitas masyarakat Dayak. Di waktu-waktu tertentu pengunjung bisa menjumpai
upacara Gawai Dayak, sebuah ungkapan syukur kepada Jubata (Tuhan) karena
masyarakat mendapatkan panen berlimpah, sekaligus meminta agar panen berikutnya
akan makmur.
Bagi masyarakat Kapuas Hulu, terutama Suku Dayak yang tinggal di rumah
panjang, keberadaan sungai merupakan denyut nadi kehidupan sekaligus akses
transportasi yang menghubungkan mereka dengan dunia luar.
Putussibau sebagai ibu kota Kabupaten Kapuas Hulu, yang terpisah jarak
sekitar 800 km dari Pontianak, ibu kota Provinsi Kalimantan Barat, menjadi
gerbang utama tujuan ekowisata ke TNBKDS. Pintu lainnya bisa diakses lewat
Serawak, Malaysia, yang berbatasan langsung dengan Kecamatan Badau, Kapuas
Hulu.
Pada Sidang Ke-30 International Coordinating Council (ICC) Man and Biosphere (MAB) Unesco, kawasan TNBKDS secara resmi dikukuhkan menjadi cagar biosfer baru dengan nama Cagar Biosfer Betung Kerihun Danau Sentrum Kapuas Hulu. Pengukuhan itu berlangsung di Palembang, Sumatera Selatan, pada 25 Juli 2018. Penghargaan ini menjadi bukti komitmen Kabupaten Kapuas Hulu dan TNBKDS dalam menjaga kelestarian alam, sehingga mendapatkan dukungan dan pengakuan internasional.
Sekadar untuk diketahui, ratusan ribu penduduk di Kapuas Hulu masih
sangat ber gantung pada kelestarian hu tan, baik pemanfaatan hasil hutan bukan
kayu (HHBK) seperti gaharu, madu, maupun potensi satwanya seperti ikan, potensi
airnya, hingga potensi wisatanya.
Masyarakat adat yang hidup di dalam kawasan telah diakomodasikan dalam
zona tradisional dan zona khusus serta zona pemanfaatan. Artinya, masyarakat
tetap dapat memanfaatkan dan mengelola hutan sesuai kaidah konservasi sehingga
tercipta kelestarian. Aktivitas mereka pun terjamin aturan yang berlaku.